BAB I
PENDAHULUAN
Melihat kehidupan sekarang perlu kiranya kita mengetahui akad dalam muamalah yang sekarang ini akan kita bahas adalah wakalah (perwakilan), yang semuanya itu sudah ada dan diatur dalam al Qur’an, Hadist, maupun dalam kitab-kitab klasik yang telah dibuat oleh ulam terdahulu. Untuk mengetahui tentang hukum wakalah, sumber-sumber hukum wakalah, dan bagaimana seharusnya wakalah diaplikasikan dalam kehidupan kita.
Wakalah sangat berperan penting dalam kehidupan sehari-hari. Karena wakalah dapat membantu seseorang dalam melakukan pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh orang tersebut, tetapi pekerjaan tersebut masih tetap berjalan seperti layaknya yang telah direncanakan. Hukum wakalah adalah boleh, karena wakalah dianggap sebagai sikap tolong-menolong antar sesama, selama wakalah tersebut bertujuan kepada kebaikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Wakalah
Secara bahasa kata al-wakalah atau al-wikalah berarti penyerahan, pendelegasian dan pemberian mandat. Sedangkan wakalah menurut istilah, di antara para ulama terjadi perbedaan pendapat, antara adalah:
1.Menurut ulama Malikiyyah
“Seorang menggantikan (menempati) tempat yang lain dalam hal (kewajiban) dia yang mengelola pada posisi itu”.
2.Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie
“Akad penyerahan kekuasaan di mana pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai gantinya untuk bertindak”.
3.Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyati al-Bakri
“Sesorang menyerahkan urusannya kepada yang lain yang di dalamnya
terdapat penggantian”.
Jadi, wakalah adalah sebuah transaksi dimana seseorang menunjuk orang lain untuk menggantikan dalam mengerjakan pekerjannya/perkaranya ketika masih hidup.
B.Dasar Hukum Wakalah
Islam mensyari’atkan wakalah karena manusia membutuhkannya.
Tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan unutk
menyelesaikan segala urusannya sendiri. Pada suatu kesempatan seseorang
perlu mendelegasikan urusan tertentu kepada orang lain untuk mewakili
dirinya. lafadz wakil muncul dalam al-Qur' an sekitar dua puluh empat kali
dalam konteks dan makna yang berbeda yang inti pokoknya adalah seseorang
yang bertanggungjawab untuk mengatur urusan orang lain.
Allah SWT berfirman:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحِلُّوْا شَعَآئِرَ اللّٰهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَـرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَٓائِدَ وَلَاۤ آٰمِّيْنَ الْبَيْتَ الْحَـرَامَ يَبْـتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ؕ وَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا ؕ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَـرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْا ۘ وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰى ۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ؕ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban), dan Qalaid (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya."
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 2)
Hadits yang dapat dipergunakan sebagai dasar akad Wakalah, diantaranya:
1.“Bahwasanya Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilkannya mengawini Maimunah binti Al Harits” (HR. Malik dalam al-Muwaththa’)
2.“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf)
C.Rukun dan Syarat Wakalah
1.Pihak yang mewakilkan (Al-Muwakkil)
a.Seseoarang / institusi yang mewakilkan, pemberi kuasa, disyaratkan memiliki hak untuk bertasharruf pada bidang-bidang yang didelegasikannya. Karena itu seseorang tidak akan sah jika mewakilkan sesuatu yang bukan haknya.
b.Pemberi kuasa mempunyai hak atas sesuatu yang dikuasakannya, disisi lain juga dituntut supaya pemberi kuasa itu sudah cakap bertindak atau mukallaf. Tidak boleh seorang pemberi kuasa itu masih belum dewasa yang cukup akal serta pula tidak boleh seorang yang gila. Menurut pandangan Imam Syafi’I anak-anak yang sudah mumayyiz tidak berhak memberikan kuasa atau mewakilkan sesuatu kepada orang lain secara mutlak. Namun madzhab Hambali membolehkan pemberian kuasa dari seorang anak yang sudah mumayyiz pada bidang-bidang yang akan dapat mendatangkan manfaat baginya.
2.Pihak yang mewakili. (Al-Wakil)
a.Penerima kuasa pun perlu memiliki kecakapan akan suatu aturan-aturan
yang mengatur proses akad wakalah ini. Sehingga cakap hukum menjadi salah satu syarat bagi pihak yng diwakilkan.
b.Seseorang / Institusi yang menerima kuasa ini, perlu memiliki kemampuan
untuk menjalankan amanahnya yang diberikan oleh pemberi kuasa. ini
berarti bahwa ia tidak diwajibkan menjamin sesuatu yang diluar batas, kecuali atas kesengajaanya,
3.Obyek / kegiatan yang diwakilkan.
a.Obyek mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual beli, pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan pihak yang memberikan kuasa.
b.Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu yang
bersifat ibadah badaniyah, seperti shalat, dan boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah maliyah seperti membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya. Selain itu hal-hal yang diwakilkan itu tidak ada campur tangan pihak yang diwakilkan.
c.Tidak semua hal dapat diwakilkan kepada orang lain. Sehingga obyek yang akan diwakilkan pun tidak diperbolehkan bila melanggar Syari’ah Islam.
4.Shighot
•Dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa. Dari mulai aturan memulai akad wakalah ini, proses akad, serta aturan yang mengatur berakhirnya akad wakalah ini.
•Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa
•Tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan untuk dan atas
pemberi kuasa melakukan sesuatu tindakan tertentu.
D.Berakhirnya Wakalah
Transaksi wakalah berakhir karena-karena sebab berikut:
1.Matinya salah seorang dari yang berakad
2.Bila salah satunya gila.
3.Pekerjaan yang dimaksud dihentikan.
4.Pemutusan oleh muwakkil terhadap wakil.
5.Wakil memutuskan sendiri.
6.Keluarnya orang yang mewakilkan dari status pemilikan.
E.Hal-hal yang Boleh dan Tidak Boleh Diwakilkan
Pada hakekatanya semua yang menyangkut hal-hal mengenai muamalah boleh diwakilkan. Menurut Sayyid Sabiq bahwa semua akad boleh diakadkan sendiri oleh manusia, boleh pula ia wakilkan kepada orang lain. Sebagaimana dikemukakan di atas, dalam jual beli diberbolehkan seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual atau membelikan sesuatu. Dalam hal ini boleh tanpa adanya ikatan harga tertentu, namun harus menjual dengan harga pasar tidak boleh berspekulasi, kecuali bila penjualan tersebut diridhai oleh yang mewakilkan. Namun Abu Hanifah berpendapat bahwa wakil tersebut boleh menjual sebagaimana kehendak wakil itu sendiri. Karena menurut Abu Hanifah mewakilkan itu sifatnya mutlaq.
Namun bila yang mewakili tersebut sampai menyalahi aturan-aturan yang telah disepakati dan penyimpanan tersebut dapat merugikan pihak yang diwakili, maka tindakan tersebut adalah batil menurut pandangan mazhab Syafi’i sedangkan menurut Hanafi tindakan tersebut tergantung pada kerelaan orang yang mewakilkan. Ibadah bersifat badaniyah tidak boleh diwakilkan. Sedangkan dalam ibadah yang sifatnya pribadi tidak boleh diwakilkan, misalkan shalat dan puasa ramadhan. kecualai haji, menyembelih kurban, membagi zakat, puasa kifarat dan rakaat thawaf terakhir dalam haji menurut Imam Taqiyuddin dapat diwakilkan.
Dalam hal qishas para ulama masih berselisih dapatkah diwakilkan. Abu Hanifah dalam hal ini tidak membolehkan, kecuali orang yang mewakilkan hadir. Jika tidak hadir, tidak boleh, karena dialah yang berhak, jika ia hadir mungkin dapat dimaafkan karena itu ditangah ketidk jelasan ini pembayaran qishas tidak diperbolehkan. Sedangkan Imam Malik membolehkan sekalipun orang yang mewakilkan tidak hadir, pendapat ini juga didukung oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.
F.Macam-macam Wakalah
1.Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa batasan waktu dan untuk segala urusan.
2.Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukan wakil untuk bertindak atas namanya dalam urusan-urusan tertentu.
3.Wakalah al ammah, perwakilan yang lebih luas dari al muqayyadahtetapi lebih sederhana daripada al mutlaqah
G.Ketentuan Mewakilkan untuk berjual beli
Seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual sesuatu tanpa adanya ikatan harga tertentu, pembayaranya tunai atau berangsur, di kampung atau di kota, maka wakil atau yang mewakili tidak boleh menjualnya dengan seenaknya saja, tapi dia harus menjual sesuai dengan harga pada umumnya, sehingga dapat dihindari, kecuali bila penjualan tersebut diridhai oleh yang mewakilkan.
Pengertian mewakilkan secara mutlak bukanlah berarti seseorang wakil dapat bertindak semena-mena, tetapi maknanya ialah dia berbuat untuk melakukan jual beli yang dikenal di kalangan para pedagang dan untuk hal yang lebih berguna bagi yang mewakilkan. Abu Hanifa berpendapat bahwa wakil tersebut boleh menjual sebagaimana kehendak wakil itu sendiri, kontan atau berangsur-angsur seimbang dengan harga kebiasaan maupun tidak, baik kemungkinan adanya kecurangan maupun tidak, baik dengan uang negara yang bersangkutan maupun dengan uang negara lain. Inilah pengertian mutlak menurut Imam Abu Hanifah.
Jika perwakilan bersifat terikat, maka wakil berkewajiban mengikuti apa saja yang telah di tentukan oleh orang yang mewakilkan, ia tidak boleh menyalahinya, kecuali kepada yang lebih buat orang yang mewakilkan, bila dalam persyaratan ditentukan bahwa benda itu harus dijual dengan harga Rp. 10.000,- kemudian dijual dengan harga yang lebih tinggi, misalnya Rp. 12.000,- atau dengan akad ditentukan bahwa barang itu boleh dijual dengan angsuran, kemudian barang tersebut dijual secara tunai, maka penjual ini adalah sah menurut pandangan Abu Hanifah.
Bila yang mewakili menyalahi aturan-aturan yang telah disepakati ketika akad, penyimpangan tersebut dapat merugikan pihak yang mewakilkan, maka tindakan tersebut adalah bathil menurut pandangan mazhab syafi’i, sedangkan menurut Hanafi tindakan itu tergantung kepada kerelaan orang yang mewakilkan, jika yang mewakilkan membolehkannya maka menjadi sah bila tidak meridhainya, maka menjadi batal.
Imam Malik berpendapat bahwa wakil mempunyai hak membeli benda-benda yang diwakilkan kepadanya, umpamanya tuan amir mewakilkan kepada tuan ahmad untuk menjual seekor kerbau, maka tuan amir boleh membeli kerbau tersebut meskipun dia telah menjadi wakil dari penjual, sedangkan menurut Abu Hanifa, al-Syafi’i dan Ahmad dalam saru riwayatnya yang paling jelas, bahwa wakil itu tidak boleh menjadi pembeli, sebab menjadi tabi’at manusia, bahwa wakil tersebut ingin membeli sesuatu untuk kepentingannya dengan harga yang lebih murah, sedangkan tujuan orang yang memberikan kuasa (mewakilkan) bersungguh untuk mendapat tambahan.
H. Hikmah Wakalah
1. Saling tolong menolong
2. Timbul saling saying-menyangi, percaya-mempercayai dalam kehidupan.
3. Mempererat tali persaudaraan diantara sesamanya.
4. Mendidik sikap bertanggung jawab terhadap amanh bagi si penerima madat/kuasa.
KESIMPULAN
•Wakalah adalah sebuah transaksi dimana seseorang menunjuk orang lain untuk menggantikan dalam mengerjakan pekerjannya/perkaranya ketika masih hidup.
•Pada hakekatanya semua yang menyangkut hal-hal mengenai muamalah boleh diwakilkan. Menurut Sayyid Sabiq bahwa semua akad boleh diakadkan sendiri oleh manusia, boleh pula ia wakilkan kepada orang lain.
•Rukun dan Syarat Wakalah
•Pihak yang mewakilkan (Al-Muwakkil)
•Pihak yang mewakili. (Al-Wakil)
•Obyek / kegiatan yang diwakilkan.
•Shighot
DAFTAR PUSTAKA
Hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Abu Bakrin ibn Muhammad Taqiy al-Din, Kifayat al-Akhyar, Beirut Libanon:
Daar alFikr, 1994
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2002