Senin, 05 Februari 2018

Hijrah yuk

Bismillahirrahmanirrahim

Hijrah yuk...

Buat yang lagi dalam proses hijrah tetap semangat ya, semoga Allah menjaga keistiqomahannya. Buat yang belum hijrah, yuk sama hijrah mudah-mudahan dipermudah semuanya.
Hijrah itu enggak sulit kok, malah menyenangkan. Tapi hijrahnya harus karena Allah ya bukan karena ingin terlihat sempurna di mata orang lain atau agar dapat pujian dari orang lain.
Hijrahnya pelan-pelan saja, biar tidak terlalu memaksa, tapi harus lebih baik tiap harinya. Yang biasanya shalatnya bolong-bolong, sekarang jadi lima waktu sehari. Biasanya shalatnya cuma yang wajib2 aja, sekarang wajib dan sunnahnya enggak pernah tinggal. Yang biasanya lisannya sering buat orang lain sakit, sekarang lisannya lebih banyak memberikan manfaat pada orang lain, misalnya memberi ilmu yang diperoleh. Yang biasanya pakaiannya pas-pasan di badan, sekarang lebih longgar lagi, bahkan lebih syar'i. Masih banyak lagi sih, terutama yang masih pacaran, yuk diudahin. Halalin atau tinggalin. Suruh halalin tapi belum mampu lahir batin, ya lebih baik putusin ajadeh. Tinggalkan dia karena Allah, insya Allah diberi petunjuk sama Allah.
Lagian diterusin juga belum tentukan dia jodoh kamu, emang mau ngejagain jodoh orang? Enggak kan? Makanya enggak usah pacaran ajadeh, banyak sakitnya pacaran mah heheh...
Lagian Allah juga enggak pernah nyebutin dalam Al-qur'an kalau pacaran itu boleh. Tenang aja, jangan takut enggak dapat jodoh, masalah jodoh, rezeky, sama maut itu udah diatur sama Allah. Jadi tenang aja. Allah SWT berfirman:

اَلْخَبِيْثٰتُ  لِلْخَبِيْثِيْنَ وَالْخَبِيْثُوْنَ لِلْخَبِيْثٰتِ ۚ  وَالطَّيِّبٰتُ لِلطَّيِّبِيْنَ وَالطَّيِّبُوْنَ  لِلطَّيِّبٰتِ ۚ  اُولٰٓئِكَ مُبَرَّءُوْنَ مِمَّا يَقُوْلُوْنَ  ؕ  لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ
"Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga)."
(QS. An-Nur 24: Ayat 26)

Intinya perbaiki diri aja dulu, laksanain perintah-Nya jauhin larangan-Nya. Hari ini harus lebih baik dari hari sebelumnya.
Itu baru namanya hijrah.. Jangan cuma hijrah pakaian ya

الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

“Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan.”. (HR.Bukhari : 52)

Jangan mudah patah semangat ya, jangan goyah karena komentar2 orang yang negatif tentang hijrah mu. Ambil sisi positifnya aja deh perkuat imannya, tetap berusaha dan serahkan semuanya pada Allah....
Usaha tidak pernah mengkhianati hasil...

Barakallah 🌸🌸

-RahmaFitriAsihPurba-

Sabtu, 23 Desember 2017

Jinayah

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Fikih Jinayah
Fikih Jinayah terdiri dari dua kata, yaitu fikih dan jinayah. Pengertian fikih secara bahasa berasal dari “lafal faqiha, yafqahu fiqhan”, yang berarti mengerti, paham. Pengertian fikih secara istilah yang dikemukakan oleh Abdul wahab Khallaf adalah himpunan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Adapun jinayah menurut bahasa adalah nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan.
Sedangkan menurut istilah jinayah yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta dan lainnya. Hukum pidana Islam sering disebut dalam fikih dengan istilah jinayah atau jarimah.  Pada dasarnya pengertian dari istilah jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Dikalangan fuqaha’, perkataan jinayah berarti perbuatan terlarang menurut syara’. Istilah yang sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah yaitu larangan-larangan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir. Berdasarkan uraian diatas dapat di jelaskan bahwa jinayah adalah semua perbuatan yang diharamkan. Perbuatan yang diharamkan adalah tindakan yang diharamkan atau dicegah oleh syara’ (hukum Islam). Apabila dilakukan perbuatan tersebut mempunyai konsenkuensi membahayakan agama jiwa, akal kehormatan dan harta benda. Adapun pengertian jarimah adalah laranganlarangan Syara’ (yang apabila dikerjakan) diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir.

B. Unsur-unsur Jinayah
Adapun unsur atau rukun umum dari jinayah. Unsur atau rukun jinayah tersebut adalah:
1. Adanya nas, yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan diatas. Unsur ini dikenal dengan “unsur formal” (al-Rukn al-Syar’i).
2. Adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur materil” (al-Rukn al-Madi).
3. Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khitbah atau dapat memahami taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf, sehingga
mereka dapat di tuntut atas kejahatan yang mereka lakukan. Unsur ini di kenal dengan istilah “unsur moral” (al-Rukn al-Adabi).
Sesuatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai jinayah jika perbuatan tersebut mempunyai unsur-unsur atau rukun-rukun tadi. Tanpa ketiga unsur tersebut, sesuatu perbuatan tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jinayah. Di samping unsur umum ini, unsur khusus yang hanya berlaku di dalam satu jarimah dan tidak sama dengan unsur khusus jarimah lain misalnya unsur mengambil harta orang lain dengan cara sembunyi sembunyi adalah unsur khusus untuk pencurian.
C. Macam-Macam Jarima
1. Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan menjadi hak Allah. Hukuman hudud terbagi menjadi 7, sesuai dengan bilangan tindak pidana hudud, adalah zina, qazaf, meminum-minuman keras, mencuri, melakuakn hirabah (gangguan keamanan), murtad dan pemberontak.
2. Jarimah qishash dan diat
Jarimah qishas dan diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishas atau diat. Baik qishas maupun diat adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’. Perbedaannya dengan hukuman had adalahbahwa had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qishas dan diat adalah hak manusia (individu). Jarimah qishas dan diat ini hanya ada dua macam yaitu pembunuhan dan penganiayaan.
3. Jarimah Ta’zir
Jarimah ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir. Ta’zir juga diartikan Ar Rad wa Al Man’u, artinya menolak atau mencegah. Menurut istilah yang dikemukaan oleh Imam al-Mawardi adalah sebagai berikut ta’zir adalah hukuman atas pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan oleh hukuman syara’. Secara ringkas dapat dikatakan hukuman ta’zir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’ melainkan diserahkan kepada Uli al-Amri baik penentuannya maupun pelaksanaannya. Secara ringkas bahwa dapat dikatakan hukuman ta’zir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’, melainkan diserahkan oleh Uli al-Amri baik penentuan maupun pelaksanaanya, artinya perbuatan undangundang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman dari yang seringanringannya sampai yang seberat-beratnya.

D. Sumber Hukum Jinayah
Allah SWT berfirman:

وَ لَـكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيٰوةٌ يّٰٓـاُولِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّکُمْ تَتَّقُوْنَ
"Dan dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 179)

Allah SWT berfirman:

وَاَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَاۤ اَنْزَلَ اللّٰهُ  وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَآءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ اَنْ يَّفْتِنُوْكَ عَنْۢ بَعْضِ مَاۤ  اَنْزَلَ اللّٰهُ اِلَيْكَ  ؕ  فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ اَنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّصِيْبَهُمْ  بِبَـعْضِ ذُنُوْبِهِمْ  ؕ  وَاِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ النَّاسِ لَفٰسِقُوْنَ
"Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memerdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh, kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik."
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 49)

E. Macam-Macam  Jarimah  Menurut Cara  Melakukan  Dan Konsekuensinya
1. Pembunuhan
Yaitu suatu perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang, baik itu dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja.
Pembunuhan ada tiga cara, yaitu:
a. Betul-betul disengaja, yaitu dilakukan oleh yang membunuh guna membunuh orang yang dibunuhnya itu dengan perkakas yang biasanya dapat digunakan untuk membunuh orang. Hukum ini wajib di qishas. Berarti dia wajib dibunuh pula, kecuali apabila dimaafkan oleh ahli waris yang terbunuh dengan membayar diyat (denda) atau dimaafkan sama sekali.
b. Ketaksengajaan semata-mata. Misalnya seseorang melontarkan suatu barang yang tidak disangka akan kena pada orang lain sehingga menyebabkan orang itu mati, atau seseorang terjatuh menimpa orang lain sehingga orang yang ditimpanya itu mati. Hukum pembunuhan yang tak disengaja ini tidak wajib qishas, hanya wajib membayar denda (diyat) yang enteng. Denda ini diwajibkan atas keluarga yang membunuh, bukan atas orang yang membunuh. Mereka membayarnya dengan diangsur dalam masa tiga tahun, tiap-tiap akhir tahun keluarga itu wajib membayar sepertiganya.
c. Seperti sengaja, yaitu sengaja memukul orang, tetapi dengan alat yang enteng (biasanya tidak untuk membunuh orang) misalnya dengan cemeti, kemudian orang itu mati dengan cemeti itu. Dalam hal ini tidak pula wajib qisas, hanya diwajibkan membayar diyat (denda) yang berat atas keluarga yang membunuh, diangsur dalam tiga tahun.
2. Khamar (Minuman Keras)
Khamar adalah cairan yang di hasilkan dari peragian biji-bijian atau buah-buahan dan mengubah sari patinya menjadi alcohol dan menggunakan katalisator (enzim) yang mempunyai kemampuan untuk memisah unsur-unsur tentu yang berubah melalui proses peragian atau Khamr adalah minuman yang memabukkan. Orang yang minum khamr diberi sangsi dengan dicambuk 40 kali (Umar bin Khattab 80 kali). Khamr diharamkan dan diberi sangsi yang berat karena mengganggu kesehatan akal pikiran yang berakibat akan melakukan berbagai tindakan dan perbuatan di luar kontrol yang mungkin akan menimbulkan ekses negatif terhadap lingkungannya.
3. Zina
Zina adalah melakukan hubungan seksual di luar ikatan perkawinan yang sah, baik dilakukan secara sukarela maupun paksaan. Sanksi hukum bagi yang melakukan perzinahan adalah dirajam (dilempari dengan batu sampai mati) bagi pezina mukhshan; yaitu perzinahan yang dilakukan oleh orang yang telah melakukan hubungan seksual dalam ikatan perkawinan yang sah. Atau dicambuk 100 kali bagi pezina ghoiru mukhshan; yaitu perzinahan yang dilakukan oleh orang yang belum pernah melakukan hubungan seksual dalam ikatan perkawinan yang sah.
4. Qadzaf
Asal makna qadzaf adalah ramyu melempar, umpamanya dengan batu atau dengan yang lainya. Menurut istilah adalah menuduh orang melakukan zina. Sangsi hukumnya adalah dicambuk 80 kali. Sangsi ini bisa dijatuhkan apabila tuduhan itu dialamatkan kepada orang Islam, baligh, berakal, dan orang yang senantiasa menjaga diri dari perbuatan dosa besar terutama dosa yang dituduhkan. Namun ia akan terbebas dari sangsi tersebut apabila dapat mengemukakan 4 orang saksi dan atau bukti yang jelas. Suami yang menuduh isterinya berzina juga dapat terbebas dari sangsi tersebut apabila dapat mengemukakan saksi dan bukti atau meli’an isterinya yang berakibat putusnya hubungan perkawinan sampai hari kiamat.
5. Mencuri
Pencurian adalah mengambil sesuatu milik orang lain secara diam-diam dan rahasia dari tempat penyimpannya yang terjaga dan rapi dengan maksud untuk dimiliki. Pengambilan harta milik orang lain secara terang-terangan tidak termasuk pencurian tetapi Muharobah (perampokan) yang hukumannya lebih berat dari pencurian. Dan Pengambilan harta orang lain tanpa bermaksud memiliki itupun tidak termasuk pencurian tetapi Ghosab (memanfaatkan milik orang lain tanpa izin). Pelaku pencurian diancam hukuman potong tangan dan akan diazab diakherat apabila mati sebelum bertaubat dengan tujuan agar harta terpelihara dari tangan para penjahat, karena dengan hukuman seperti itu pencuri akan jera dan memberikan pelajaran kepada orang lain yang akan melakukan pencurian karena beratnya sanksi hukum sebagai tindakan defensif (pencegahan). Hukuman potong tangan dijatuhkan kepada pencuri oleh hakim setelah terbukti bersalah, baik melalui pengakuan, saksi dan alat bukti serta barang yang dicurinya bernilai ekonomis, bisa dikonsumsi dan mencapai nishab, yaitu lebih kurang 93 gram emas.
6. Muharobah (berbuat kekacauan)
Muharobah adalah aksi bersenjata dari seseorang atau sekelompok orang untuk menciptakan kekacauan, menumpahkan darah, merampas harta, merusak harta benda, ladang pertanian dan peternakan serta menentang aturan perundang-undangan. Latar belakang aksi ini bisa bermotif ekonomi yang berbentuk perampokan, penodongan baik di dalam maupun diluar rumah atau bermotif politik yang berbentuk perlawanan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan melakukan gerakan yang mengacaukan ketentraman dan ketertiban umum. Sangsi hukum pelaku muharobah adalah:
a. Dipotong tangan dan kakinya secara bersilang apabila ia atau mereka hanya     mengambil atau merusak harta benda.
b. Dibunuh atau disalib apabila dalam aksinya itu ia membunuh orang.
c. Dipenjara atau dibuang dari tempat tinggalnya apabila dalam aksinya hanya melakukan kekacauan saja tanpa mengambil atau merusak harta-benda dan tanpa membunuh.

F. Sebab-sebab batalnya Jinayah
1. Paksaan
Yakni pelaku dipaksa melakukan perbuatan jarimah yang tidak dikehendaki.
2. Mabuk
Orang mabuk adalah orang  yang mengigau dalam percakapannya menghilangkan cakapnya bertindak, oleh karena itu tidak sah akad, ucapan dan perbuatannya. Jika ia dipaksa untuk mabuk, kemudian dia melakukan jarimah, maka ia tidak dikenakan pidana, Namun jika ia mabuk  atas kemauannya  sendiri,  kemudian  ia melakukann  jarimah,  maka  ia  tetap dikenakan pidana. Karena ia sengaja menghilangkan kesadarannya sendiri..
3. Gila
Gila dapat diartikan sebagai hilangnya atau telepasnya akal.
4. Belum baligh.
Yakni anak yang belum tamyis belum memiliki kemampuan berpikir dan belum mengerti akibat dari perbuatan yang dilakukan. Namun  ada  beberapa sebab  lain  dalam  kasus  tertentu yang  menyebabkan  gugurnya sanksi jarimah, yaitu:
a. Pelaku jarimah meninggal.
b. Pelaku jarimah  bertobat.
c. Tidak terdapat bukti dan saksi serta tidak ada pengakuan.
d. Terbukti bahwa dua orang saksinya itu dusta dalam persaksiannya,
e. Pelaku menarik kembali pengakuannya,
f. Mengembalikan harta yang dicuri sebelum diajukan ke sidang hal ini terjadi pada  pelaku pencurian dan hirabah, (Menurut Imam Abu Hanifah).

KESIMPULAN
Secara bahasa kata jinaayaat adalah bentuk jama’ dari kata jinaayah yang berasal dari janaa dzanba yajniihi jinaayatan yang berarti melakukan dosa. Sekalipun isim mashdar (kata dasar), kata jinaayah dijama’kan karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa. Kadang-kadang ia mengenai jiwa dan anggota badan, baik disengaja ataupun tidak.
Jinayah terdiri atas dua macam, yaitu jinayah terhadap jiwa dan jinayah terhadap badan.
Sebab-sebab jinayah yaitu; membunuh, meminum khamar, berzina, qadzaf, mencuri, muharobah dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA
Munajat Mahrus , Dekontruksi Hukum Pidana Islam, cet I, Jogjakarta : Logung Pustaka,2004
Hakim Rahmat , Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), cet I, Bandung : CV Pustaka Setia,2000
https://guruinformatika.blogspot.co.id/2014/04/makalah-tentang-jinayah-hukum-pidana_2.html?m=1

Jumat, 22 Desember 2017

Asuransi


A. Pendahuluan
Kegiatan bisnis asuransi kini makin berkembang, yang membawa konsekuensi berkembang pula hukum bisnis asuransi. Salah satu kegiatan bisnis asuransi yang muncul dalam masyarakat adalah bisnis asuransi syariah. Dalam undang-undang yang mengatur tentang bisnis perasuransian, belum diatur tentang asuransi syariah. Namun, dalam praktik perasuransian ternyata bisnis asuransi syari’ah sudah banyak dikenal masyarakat.
Asuransi syariah merupakan bidang bisnis asuransi yang cukup memperoleh perhatian besar di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagai bisnis asuransi alternatif, asuransi syriah boleh dikatakan relatif baru dibandingkan dengan bidang bisnis asuransi konvensional. Kebaruan bisnis asuransi syariah adalah pengoperasian kegiatan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah yang bersumber dari alquran dan hadis serta fatwa para ulama terutama yang terhimpun dalam majelis ulama Indonesia (MUI).
Pada prinsipnya, yang membedakan asuransi syariah dengan asuransi konvensional adalah asuransi syariah menghapuskan unsur ketidakpastian (gharar), unsur spekulasi alias perjudian (maisir), dan unsur bunga uang (riba) dalam kegiatan bisnisnya sehingga peserta asuransi (tertanggung) merasa terbebas dari praktik kezaliman yang merugikan nya. Agar masyarakat dapat memahami konsep asuransi syariah secara wajar, perlu dilakukan penyuluhan dari hasil penelitian yang telah dilakukan melaui publikasi yang lebih luas.

B. Pengertian Asuransi
Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris, insurance yang menurut Echols dan Shadilly memaknai dengan (a) asuransi dan (b) jaminan.  Menurut Muhammad Muslehuddin asuransi adalah persiapan yang dibuat oleh sekelompok orang yang masing-masing menghadapi kerugian kecil sebagai sesuatu sesuatu yang tidak dapat diduga. Apabila kerugian itu menimpa salah seorang dari mereka yang menjadi anggota perkumpulan tersebut, maka kerugian tersebut akan ditanggung bersama.  Istilah asuransi, menurut pengertian ekonomi menunjukkan suatu aransemen ekonomi yang menghilangkan atau mengurangi akibat-akibat yang merugikan di masa akan datang kerena berbagai kemungkinan sejauh menyangkut kekayaan (vermoegen) seorang individu. Kemungkinan-kemungkinan tersebut harus bersifat tidak tetap (casual) bagi individu yang dipengaruhinya, sehingga setiap kejadian merupakan peristiwa yang tak terduga. Asuransi membagi rata segala akibat yang merugikan atas serangkaian kasus yang terancam oleh bahaya yang sama namun belum benar-benar terjadi.

C. Rukun dan Syarat Asuransi
Adapun rukun dan syarat yang dimaksud adalah:
1. Modal
Modal usaha yang diberikan berupa uang tunai, tetapi bukan hanya uang tunai saja, dari emas dan perak juga bisa dijadikan syarat sebagian ulama’. Karena masa sekarang kesulitan dengan emas ataupun perak, namun bisa dengan uang kertas atau kertas berharga lainnya. Modal harus diketahui secara pasti dan jelas. Sehingga dalam menentukan keuntungan yang akan diperoleh dari usaha dapat diketahui wujudnya pada saat terjadi perjanjian.
2. Pemilik Modal dan Pengelola
Adapun syarat pemilik modal dan pengelola yaitu:
a. Balig, keduanya sudah dikatakan balig bila sudah dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk.
b. Berakal, yaitu seorang yang berfikir logis sehingga pemilik modal menempatkan sebagian hartanya dengan pertimbangan bahwa pengelola modal mampu mengembangkan modal yang ada.
c. Atas kerelaan sendiri dimana setiap pihak yang melakukan transaksi tidak merasa dipaksa.
3. Pekerjaan
Dalam pekerjaan mensyaratkan berupa perdagangan. Pelaku niaga diberi kebebasan melakukan perniagaan tanpa dibatasi waktu. Apabila mereka sepakat untuk persyaratan tertentu untuk menjamin keuntungan dan mempertinggi produktivitas, maka tidaklah salah asalkan persyaratan itu sesuai dengan ketentuan syariat.
4. Keuntungan
Dalam keuntungan disyaratkan khusus dua orang untuk bekerjasama dan dijelaskan secara rinci. Prosentase keuntungan yang akan dibagi antara pemilik modal dan pengelola harus dijelaskan dan ditentukan misalnya sepertiga atau satu perdua. Persentase keuntungan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
5. Sighat
Dalam melakukan akad harus terjadi sighat. Menurut ulama’ Hanafi dan Hambali tidak selalu disertai dengan ucapan, dengan cara saling memberi dan menerima sejumlah modal usahanya sudah sah hukumnya.

D. Macam-macam Asuransi
1. Asuransi Dwiguna
Yaitu asuransi yang memiliki dua guna atau dua keperluan. Asuransi jenis ini dapat ditempuh dalam jangka waktu 10-30 tahun. Adapun dua guna asuransi tersebut yaitu:
a. Perlindungan bagi keluarga, bilamana tertanggung meninggal dunia dalam janga waktu pertanggungan.
b. Menjadi tabungan bagi tertanggung, bilamna tertanggung tetap hidup sampai akhir jangka masa pertanggungan.
2. Asuransi jiwa
Yaitu asuransi yang bertujuan menanggung orang terhadap kerugian finansial yang tidak terduga yang disebabkan oleh seseorang meninggal terlalu cepat atau hidupnya terlalu panjang.
3. Asuransi kebakaran
Bertujuan untuk mengganti kerugian yang disebabkan kebakaran.
4. Asuransi atas bahaya yang menimpa anggota tubuh
Yaitu asuransi dimana dengan sebab-sebab tertentu mengakibatkan kerusakan pada tubuh sesorang, seperti rusaknya mata, telinga, putusnya tangan dan patahnya kaki.
5. Asuransi terhadap pertanggungan sipil
Yaitu asuransi yang diadakan untuk perlindungan terhadap benda-benda penting dan berharga, seprti kendaraan, rumah, perhiasan, dan alat-alat perusahaan.

E. Hukum Islam (syariah)
Al-Qur’an sendiri tidak menyebutkan secara tegas ayat yang
menjelaskan tentang praktek asuransi seperti yang ada pada saat ini. Hal ini
terindikasi dengan tidak munculnya istilah asuransi atau at-ta’mi>n secara
nyata dalam Al-Qur’an. Walaupun begitu Al-Qur’an masih mengakomodir
ayat-ayat yang mempunyai muatan nilai-nilai dasar yang ada dalam praktek
asuransi, seperrti nilai dasar tolong menolong, kerja sama, atau semangat
untuk melakukan proteksi terhadap peristiwa kerugian dimasa yang akan
datang. Dalil tersebut antara lain dalam surat al-Maidah ayat 2 yang berbunyi:

.... َوَتـَ ع َ اونُوا َ علَى الِِّْ بر َو َّ التـْقَوى َولا َتـَ ع َ اونُوا َ علَى ِْ الإثم َوالْعُْ دَو ِ ان َوَّ اتـُ قوا اللَّهَ إِ َّ ن اللَّهَ َ ش ِ د ُ يد الْعَِق ِ اب
Artinya: “… Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan
dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Ayat di atas memuat kata perintah (amr) yaitu tolong menolong antar sesama manusia, dalam bisnis asuransi ini terlihat dalam praktek kerelaan anggota (nasabah) untuk menyisihkan dananya agar digunakan sebagai dana sosial (tabarru’) yang berbentuk rekening tabarru’ yang berfungsi untuk menolong salah satu anggota yang sedang mengalami musibah.

F. Pendapat Ulama tentang Asuransi
1. Ulama fiqh kelompok pertama diantaranya syaikh Ibnu Abidin dari mazhab Hanafi, mereka semua mengharmkan asuransi dengan alasan:
a. Asuransi sama dengan judi.
b. Asuransi mengandung ketidakjelasan dan ketidakpastian, karena tertanggung diwajibkan membayar sejumlah premi yang telah ditentukan, sedangkan berapa jumlah yang akan dibayarkan tidak jelas. Lebih dari itu belum ada kepastian apakah jumlah tertentu itu akan diberikan kepada tertanggung atau tidak.
c. Asuransi mengandung unsur riba, karena tertanggung akan memperoleh sejumlah uang yang lebih besar daripada premi yang dibayarnya.
d. Mengandung unsur eksploitasi karena tertanggung kalau tidak dapat membayar preminya, uangnya bisa hilang atau dikurangi dari jumlah uang premi yang telah dibayarkan.
2. Ulama fiqh yang termasuk kelompok kedua, membolehkan secara mutlak asuransi karena alasan berikut:
a. Tidak ada Nash al-Qur’an dan Hadis yang melarang asuransi.
b. Dalam asuransi terdapat kesepakataan dan kerelaan antara kedua belah pihak.
c. Asuransi saling menguntungkan keduan belah pihak.
d. Asuransi mengandung kepentingan umum.
e. Asuransi termasuk akad mudharabah antara pemegang polis dan perusahaan asuransi.
f. Asuransi termasuk syirkah ta’wuniah, yaitu usaha bersama yang didasarkan pada prinsip tolong menolong.
3. Ulama fiqh yang termasuk kelompok ketiga yaitu Muhammad Abu Zahra, menyimpulkan bahwa asuransi yang bersifat sosial (tolong menolong) adalah halal dan sebagai aktivitas alami yang perlu diwujudkan keberadaannya.
4. Ulama fiqh yang menganggap asuransi sebagai subhat, dengan alasan tidak ada dalil yang secara tegas mengharamkannya dan menghalalkannya, sementara dapat dirasakan pada asuransi terkandung keuntungan sekaligus kerugian pada pihak-pihak yang terlibat.

G. Prinsip Asuransi Syariah
1. Dibangun atas dasar kerja sama (ta’awun)
2. Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabrru’ ataumudhoroba
3. Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian) oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
4. Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan harus disertai dengan niat membantu demi menegakkan prinsip ukhuwa
5. Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akantetapi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
6. Apabila uang itu akan dikembangkan maka harus dijalankan menurut aturan syar’i
7. Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong menolong). Dimana nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengan mengalami kesulitan.
8. Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syari’ah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah).
9. Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegangamana untuk mengelolanya
10. Bila ada peserta yang terkena musibah untuk pembayaran klaim nasabah dana diambilkan dari rekening tabarru’ (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diiklaskan untuk keperluan tolong menolong.
11. Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah salaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola dengan prinsip bagi hasil.
12. Adanya dewan pengawas syariah dalam perusahaan asuransi syariah yang merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemenn produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat islam. (Abdul aziz 2010.hlm 192).




















KESIMPULAN
Asuransi syariah atau yang lebih dikenal dengan at-ta’min, takaful,atautadhamun adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/ pihak melalui inventasi dalam bentuk asset atau tabarru’ memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah .
Kehadiran asuransi syariah diawali dengan beroperasinya bank syariah. Hal ini sesuai dengan Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan dan ketentuan pelaksanaan bank syariah. Pada saat ini bank syariah membutuhkan jasa asuransi syariah guna mendukung permodalan dan investasi dana.
Alquran dan hadis merupakan sumber utama hukum islam, namun dalam menetapkan prinsip-prinsip maupun praktik dan operasional asuransi syariah, parameter yang senantiasa menjadi rujukan adalah syariah islam.
konsep asuransi syariah adalah suatu konsep di mana terjadi saling memikul risiko diantara sesama peserta sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko yang muncul. Saling pukul risiko ini dilakukan atas dasar saling menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan danatabarru’ atau dana kebajikan (derma) yang tujuannya untuk menanggung risiko. Dalam sistem operasional, asuransi syari’ah telah terhindar dari hal-hal yang diharamkan oleh para ulama, yaitu gharar,maisir, dan riba.









DAFTAR PUSTAKA
Ali Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Jakarta: Kencana, 2004
Muslehuddin Mohammad, Asuransi dalam Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997
Muslehuddin Mohammad, Menggugat Asuransi Modern, Jakarta: Lentera, 1999
Suhendi Hendi, Fiqh Mua’malah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005
http://febrianimila98.blogspot.co.id/2016/11/makalah-asuransi-syariah.html?m=1

Wakalah

BAB I
PENDAHULUAN

Melihat kehidupan sekarang perlu kiranya kita mengetahui akad dalam muamalah yang sekarang ini akan kita bahas adalah wakalah (perwakilan), yang semuanya itu sudah ada dan diatur dalam al Qur’an, Hadist, maupun dalam kitab-kitab klasik yang telah dibuat oleh ulam terdahulu. Untuk mengetahui tentang hukum wakalah, sumber-sumber hukum wakalah, dan bagaimana seharusnya wakalah diaplikasikan dalam kehidupan kita.
Wakalah sangat berperan penting dalam kehidupan sehari-hari. Karena wakalah dapat membantu seseorang dalam melakukan pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh orang tersebut, tetapi pekerjaan tersebut masih tetap berjalan seperti layaknya yang telah direncanakan. Hukum wakalah adalah boleh, karena wakalah dianggap sebagai sikap tolong-menolong antar sesama, selama wakalah tersebut bertujuan kepada kebaikan.

BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Wakalah
Secara bahasa kata al-wakalah atau al-wikalah berarti penyerahan, pendelegasian dan pemberian mandat. Sedangkan wakalah menurut istilah, di antara para ulama terjadi perbedaan pendapat, antara adalah:
1.Menurut ulama Malikiyyah
“Seorang menggantikan (menempati) tempat yang lain dalam hal (kewajiban) dia yang mengelola pada posisi itu”.
2.Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie
“Akad penyerahan kekuasaan di mana pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai gantinya untuk bertindak”.
3.Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyati al-Bakri
“Sesorang menyerahkan urusannya kepada yang lain yang di dalamnya
terdapat penggantian”.

Jadi, wakalah adalah sebuah transaksi dimana seseorang menunjuk orang lain untuk menggantikan dalam mengerjakan pekerjannya/perkaranya ketika masih hidup.

B.Dasar Hukum Wakalah
Islam mensyari’atkan wakalah karena manusia membutuhkannya.
Tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan unutk
menyelesaikan segala urusannya sendiri. Pada suatu kesempatan seseorang
perlu mendelegasikan urusan tertentu kepada orang lain untuk mewakili
dirinya. lafadz wakil muncul dalam al-Qur' an sekitar dua puluh empat kali
dalam konteks dan makna yang berbeda yang inti pokoknya adalah seseorang
yang bertanggungjawab untuk mengatur urusan orang lain.

Allah SWT berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحِلُّوْا شَعَآئِرَ اللّٰهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَـرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَٓائِدَ وَلَاۤ آٰمِّيْنَ الْبَيْتَ الْحَـرَامَ يَبْـتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًا    ؕ  وَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا   ؕ  وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَـرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْا  ۘ  وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰى ۖ  وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖ  وَاتَّقُوا اللّٰهَ   ؕ  اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban), dan Qalaid (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya."
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 2)

Hadits yang dapat dipergunakan sebagai dasar akad Wakalah, diantaranya:
1.“Bahwasanya Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilkannya mengawini Maimunah binti Al Harits” (HR. Malik dalam al-Muwaththa’)
2.“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf)

C.Rukun dan Syarat Wakalah
1.Pihak yang mewakilkan (Al-Muwakkil)
a.Seseoarang / institusi yang mewakilkan, pemberi kuasa, disyaratkan memiliki hak untuk bertasharruf pada bidang-bidang yang didelegasikannya. Karena itu seseorang tidak akan sah jika mewakilkan sesuatu yang bukan haknya.
b.Pemberi kuasa mempunyai hak atas sesuatu yang dikuasakannya, disisi lain juga dituntut supaya pemberi kuasa itu sudah cakap bertindak atau mukallaf. Tidak boleh seorang pemberi kuasa itu masih belum dewasa yang cukup akal serta pula tidak boleh seorang yang gila. Menurut pandangan Imam Syafi’I anak-anak yang sudah mumayyiz tidak berhak memberikan kuasa atau mewakilkan sesuatu kepada orang lain secara mutlak. Namun madzhab Hambali membolehkan pemberian kuasa dari seorang anak yang sudah mumayyiz pada bidang-bidang yang akan dapat mendatangkan manfaat baginya.
2.Pihak yang mewakili. (Al-Wakil)
a.Penerima kuasa pun perlu memiliki kecakapan akan suatu aturan-aturan
yang mengatur proses akad wakalah ini. Sehingga cakap hukum menjadi salah satu syarat bagi pihak yng diwakilkan.
b.Seseorang / Institusi yang menerima kuasa ini, perlu memiliki kemampuan
untuk menjalankan amanahnya yang diberikan oleh pemberi kuasa. ini
berarti bahwa ia tidak diwajibkan menjamin sesuatu yang diluar batas, kecuali atas kesengajaanya,
3.Obyek / kegiatan yang diwakilkan.
a.Obyek mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual beli, pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan pihak yang memberikan kuasa.
b.Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu yang
bersifat ibadah badaniyah, seperti shalat, dan boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah maliyah seperti membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya. Selain itu hal-hal yang diwakilkan itu tidak ada campur tangan pihak yang diwakilkan.
c.Tidak semua hal dapat diwakilkan kepada orang lain. Sehingga obyek yang akan diwakilkan pun tidak diperbolehkan bila melanggar Syari’ah Islam.
4.Shighot
•Dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa. Dari mulai aturan memulai akad wakalah ini, proses akad, serta aturan yang mengatur berakhirnya akad wakalah ini.
•Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa
•Tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan untuk dan atas
pemberi kuasa melakukan sesuatu tindakan tertentu.

D.Berakhirnya Wakalah
Transaksi wakalah berakhir karena-karena sebab berikut:
1.Matinya salah seorang dari yang berakad
2.Bila salah satunya gila.
3.Pekerjaan yang dimaksud dihentikan.
4.Pemutusan oleh muwakkil terhadap wakil.
5.Wakil memutuskan sendiri.
6.Keluarnya orang yang mewakilkan dari status pemilikan.

E.Hal-hal yang Boleh dan Tidak Boleh Diwakilkan
Pada hakekatanya semua yang menyangkut hal-hal mengenai muamalah boleh diwakilkan. Menurut Sayyid Sabiq bahwa semua akad boleh diakadkan sendiri oleh manusia, boleh pula ia wakilkan kepada orang lain. Sebagaimana dikemukakan di atas, dalam jual beli diberbolehkan seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual atau membelikan sesuatu. Dalam hal ini boleh tanpa adanya ikatan harga tertentu, namun harus menjual dengan harga pasar tidak boleh berspekulasi, kecuali bila penjualan tersebut diridhai oleh yang mewakilkan. Namun Abu Hanifah berpendapat bahwa wakil tersebut boleh menjual sebagaimana kehendak wakil itu sendiri. Karena menurut Abu Hanifah mewakilkan itu sifatnya mutlaq.
Namun bila yang mewakili tersebut sampai menyalahi aturan-aturan yang telah disepakati dan penyimpanan tersebut dapat merugikan pihak yang diwakili, maka tindakan tersebut adalah batil menurut pandangan mazhab Syafi’i sedangkan menurut Hanafi tindakan tersebut tergantung pada kerelaan orang yang mewakilkan. Ibadah bersifat badaniyah tidak boleh diwakilkan. Sedangkan dalam ibadah yang sifatnya pribadi tidak boleh diwakilkan, misalkan shalat dan puasa ramadhan. kecualai haji, menyembelih kurban, membagi zakat, puasa kifarat dan rakaat thawaf terakhir dalam haji menurut Imam Taqiyuddin dapat diwakilkan.
Dalam hal qishas para ulama masih berselisih dapatkah diwakilkan. Abu Hanifah dalam hal ini tidak membolehkan, kecuali orang yang mewakilkan hadir. Jika tidak hadir, tidak boleh, karena dialah yang berhak, jika ia hadir mungkin dapat dimaafkan karena itu ditangah ketidk jelasan ini pembayaran qishas tidak diperbolehkan. Sedangkan Imam Malik membolehkan sekalipun orang yang mewakilkan tidak hadir, pendapat ini juga didukung oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.

F.Macam-macam Wakalah
1.Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa batasan waktu dan untuk segala urusan.
2.Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukan wakil untuk bertindak atas namanya dalam urusan-urusan tertentu.
3.Wakalah al ammah, perwakilan yang lebih luas dari al muqayyadahtetapi lebih sederhana daripada al mutlaqah

G.Ketentuan Mewakilkan untuk berjual beli
Seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual sesuatu tanpa adanya ikatan harga tertentu, pembayaranya tunai atau berangsur, di kampung atau di kota, maka wakil atau yang mewakili tidak boleh menjualnya dengan seenaknya saja, tapi dia harus menjual sesuai dengan harga pada umumnya, sehingga dapat dihindari, kecuali bila penjualan tersebut diridhai oleh yang mewakilkan.
Pengertian mewakilkan secara mutlak bukanlah berarti seseorang wakil dapat bertindak semena-mena, tetapi maknanya ialah dia berbuat untuk melakukan jual beli yang dikenal di kalangan para pedagang dan untuk hal yang lebih berguna bagi yang mewakilkan. Abu Hanifa berpendapat bahwa wakil tersebut boleh menjual sebagaimana kehendak wakil itu sendiri, kontan atau berangsur-angsur seimbang dengan harga kebiasaan maupun tidak, baik kemungkinan adanya kecurangan maupun tidak, baik dengan uang negara yang bersangkutan maupun dengan uang negara lain. Inilah pengertian mutlak menurut Imam Abu Hanifah.
Jika perwakilan bersifat terikat, maka wakil berkewajiban mengikuti apa saja yang telah di tentukan oleh orang yang mewakilkan, ia tidak boleh menyalahinya, kecuali kepada yang lebih buat orang yang mewakilkan, bila dalam persyaratan ditentukan bahwa benda itu harus dijual dengan harga Rp. 10.000,- kemudian dijual dengan harga yang lebih tinggi, misalnya Rp. 12.000,- atau dengan akad ditentukan bahwa barang itu boleh dijual dengan angsuran, kemudian barang tersebut dijual secara tunai, maka penjual ini adalah sah menurut pandangan Abu Hanifah.
Bila yang mewakili menyalahi aturan-aturan yang telah disepakati ketika akad, penyimpangan tersebut dapat merugikan pihak yang mewakilkan, maka tindakan tersebut adalah bathil menurut pandangan mazhab syafi’i, sedangkan menurut Hanafi tindakan itu tergantung kepada kerelaan orang yang mewakilkan, jika yang mewakilkan membolehkannya maka menjadi sah bila tidak meridhainya, maka menjadi batal.
Imam Malik berpendapat bahwa wakil mempunyai hak membeli benda-benda yang diwakilkan kepadanya, umpamanya tuan amir mewakilkan kepada tuan ahmad untuk menjual seekor kerbau, maka tuan amir boleh membeli kerbau tersebut meskipun dia telah menjadi wakil dari penjual, sedangkan menurut Abu Hanifa, al-Syafi’i dan Ahmad dalam saru riwayatnya yang paling jelas, bahwa wakil itu tidak boleh menjadi pembeli, sebab menjadi tabi’at manusia, bahwa wakil tersebut ingin membeli sesuatu untuk kepentingannya dengan harga yang lebih murah, sedangkan tujuan orang yang memberikan kuasa (mewakilkan) bersungguh untuk mendapat tambahan.
H. Hikmah Wakalah
1. Saling tolong menolong
2. Timbul saling saying-menyangi, percaya-mempercayai dalam kehidupan.
3. Mempererat tali persaudaraan diantara sesamanya.
4. Mendidik sikap bertanggung jawab terhadap amanh bagi si penerima madat/kuasa.


KESIMPULAN
•Wakalah adalah sebuah transaksi dimana seseorang menunjuk orang lain untuk menggantikan dalam mengerjakan pekerjannya/perkaranya ketika masih hidup.
•Pada hakekatanya semua yang menyangkut hal-hal mengenai muamalah boleh diwakilkan. Menurut Sayyid Sabiq bahwa semua akad boleh diakadkan sendiri oleh manusia, boleh pula ia wakilkan kepada orang lain.
•Rukun dan Syarat Wakalah
•Pihak yang mewakilkan (Al-Muwakkil)
•Pihak yang mewakili. (Al-Wakil)
•Obyek / kegiatan yang diwakilkan.
•Shighot

DAFTAR PUSTAKA
Hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Abu Bakrin ibn Muhammad Taqiy al-Din, Kifayat al-Akhyar, Beirut Libanon:
Daar alFikr, 1994
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2002

Bank riba dan rente

BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini, dalam kehidupan modern keberadaan bank ternyata sudah menjadi kebutuhan yang penting bagi masyarakat luas. Mulai dari yang menabung, yang meminjam uang dan sampai kepada yang menggunakan jasanya untuk mentransfer uang dari satu kota atau negara kekota atau negara lain
Mengenai perbankan ini sebenarnya sudah dikenal kurang lebih 2500 sebelum masehi di Mesir Purba dan Yunani dan kemudian oleh bangsa Romawi.Perbankan modern berkembang di Itali pada abad pertengahan yang dikuasai oleh beberapa keluarga untuk membiayai ke-Pausan dan perdagangan wol.Selanjutnya berkembang pesat pada abad ke-18 dan 19.
Sesuai dengan fungsinya bank-bank terbagi kepada bank primer, yaitu bank sirkulasi yang menciptakan uang dan bank sekunder, yaitu bank-bank yang tidak menciptakan uang, juga tidak dapat memperbesar dan memperkecil arus uang, seperti bank-bank umum, tabungan, pembiayaan usaha dan pembangunan. Dalam topik ini, ada dua masalah yang akan dibahas, yaitu bank dan rente, bank dan riba.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Bank dan Macam-macamnya
1. Pengertian dan Sejarahnya
Dalam Ensiklopedia Indonesia, bank atau perbankan adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang dengan tujuan memnuhi kebutuhan kredit dengan modal sendiri atau orang lain.
Dalam lintas sejarah sebanarnya bank telah dikenal kurang lebih 2.500 tahun sebelum Masehi dikembangkan oleh bangsa Romawi. Perbankan modern berkembang di Itali pada abad pertengahan yang dikuasai oleh beberapa keluarga untuk membiayai kepausan dan perdagangan wol.
Dilihat dari fungsinya, bank terbagi menjadi dua yaitu,
a. Bank primer, yaitu bank sirkulasi yang menciptakan uang.
b. Bank sekunder, yaitu bank menciptakan uang dan juga tidak memperbesar dan memperkecil arus uang, seperti bank-bank umum, tabungan, pembiayaan usaha, dan pembangunan.
Sedangkan rente dilihat dari segi bahasa berasal dari bahasa Belanda yaitu bunga. Sedangkan rentenir adalah orang yang menekan harga.
2. Bank Konvensional dan Bank Islam
Bank konvensional adalah lembaga keuangan yang fungsi utamanya untuk menghimpun dan yang kemudian disalurkan kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya guna investasi (penanaman modal) dan usaha-usaha yang produktif dengan sistem bunga. Contohnya BNI, BRI dan BCA.
Sedangkan bank Islam adalah suatu lembaga yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya dengan sistem tanpa bunga.  Contohnya Bank Muamalah. Tujuannya adalah untuk menghindari bunga uang yang diberlakukan bank konvensional. Sistem yang digunakan adalah:
a. Wadiah yaitu titipan uang, barang, dan surat-surat berharga.
b. Mudharabah yaitu kerjasama antara pemilik dan pelaksana.
c. Musyarakah/ syirkah yaitu persekutuan.
d. Murabahah yaitu jual beli barang dengan tambahan harga dasar atas harga pembelian yang pertama secara jujur.
e. Qard hasan yaitu pinjaman yang baik.
f. Bank Islam boleh mengelola zakat di negara yang pemerintahannya tidak mengelola zakat secara langsung.
g. Membayar gaji para karyawan bank yang melakukan pekerjaan untuk kepentingan nasabah, untuk sarana prasarana yang disediakan oleh bank dan biaya administrasi pada umumnya.

B. Riba dan Pembagiannya
Secara bahasa, riba berarti tambahan. Dalam istilah hukum Islam, riba berarti tambahan baik berupa tunai, benda, maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam untuk membayar selain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada hari jatuh waktu mengembalikan uang pinjaman itu.
Dengan kata lain riba adalah penambahan, perkembangan, peningkatan, dan pembesaran atas pinjaman pokok yang diterima pemberi pinjaman dari peminjam sebagai imbalan karena nenangguhkan atau berpisah dari sebagian modalnya selama periode waktu tertentu.
Dalam hal ini, Muhammad Ibnu Abdullah, Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitab Ahkam Al-Qur’an mengatakan bahwa tambahan yang termasuk riba adalah tambahan yang diambil tanpa ada suatu ‘iwad (penyeimbang/ pengganti) yang di benarkan syari’ah. Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab fiqh Sunah, yang di maksud riba adalah tambahan atas modal baik penambahan itu sedikit atau banyak. Oleh karena itu, pengertian riba menurut terminologi (pendapat ulama) adalah bunga kredit yang harus diberikan oleh orang yang berhutang kepada orang yang berpiutang, sebagai imbalam untuk menggunakan sejumlah milik berpiutang dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Misalnya si A memberi pinjaman pada si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman serta sekian persen tambahannya.

Macam-macam riba antara lain:
1. Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyatarkan terhadap yang berutang (muqtaridh).
2. Riba Jahiliyah
Utang dibayar lebih dari pokonya karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan. Riba jahiliyah di larang karena kaedah “kullu qordin jarra manfa ah fahuwa riba” (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba.) dari segi penundaan waktu penyerahannya, riba jahiliyah tergolong riba nasi’ah; dari segi kesamaan objek yang dipertukarkan tergolong riba fadhl.
3. Riba fadhl
Riba fadhl disebut juga riba buyu yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya sama kuantitasnya, dan sama waktu penyerahannya.
Pertukaran seperti ini mengandung gharar yaitu ketidak jelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidak jelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak dan pihak-pihak yang lain.
4. Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah juga disebut riba duyun yaitu riba yang timbul akibat utang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko dan hasil usaha muncul bersama biaya. Transaksi semisal mengandung ini pertukaran kewajiban menanggung beban hanya karena perjalannya waktu. Riba Nasi’ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya.


C. Hikmah Keharaman Riba
Menurut Yusuf Qardhawi, para ulama telah menyimpulkan hikmah diharamkannya riba yaitu:
1. Riba berarti mengambil harta orang lain tanpa hak.
2. Riba dapat melemahkan kreativitas manusia untuk berusaha atau bekerja, sehingga manusia melalaikan perdagangannya, perusahaannya.
3. Riba menghilangkan nilai kebaikan dan keadilan dalam utang piutang.
4. Biasanya orang membaeri utang adalah orang kaya dan orang yang berutang adalah orang miskin. Mengambil kelebihan utang dari orang miskin sangat bertentangan dengan sifat rahmat Allah swt.
Adapun Sayyid Sabiq berpendapat, diharamkannya riba karena didalamnya terdapat empat unsur yang merusak:
1. Menimbullan permusuhan dan menghilangkan semangat tolong menolong.
2. Riba akan melahirkan mental pemboros yang tidak mau bekerja, menimbulkan penimbunan harta tanpa usaha tak ubahnya seperti benalu yang nempel di pohon lain.
3. Riba sebagai salah satu cara menjajah.
4. Islam menghimbau agar manusia memberikan pinjaman kepada yang memerlukan dengan baik untuk mendapat pahala bukan mengekploitasi orang lemah.

D. Hukum Bunga Bank
Perbedaan pendapat mereka tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pendapat Abu Zahrah (Guru Besar Fakultas Hukum, Universitas Cairo), Abul A’la Maududi (Pakistan), Muhammad abdullah Al-‘Arabi (Penasihat Hukum pada Islamic Congres Cairo), dan lainnya yang sependapat menyatakan bahwa bunga bank itu riba nasiah, yang dilarang oleh agama Islam. Oleh karena itu umat Islam tidak diperkenankan bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga, terkecuali memang benar-benar dalam keadaan darurat atau terpaksa, dengan syarat mereka itu mengharapkan dan menginginkan lahirnya bank Islam yang tidak memakai sistem bunga sama sekali.
2. Mustafa A.Zarqa berpendapat bahwa riba yang diharamkan adalah yang bersifat konsumtif seperti yang berlaku pada zaman jahiliyah sebagai bentuk pemerasan kepada kaum lemah yang konsumtif.
3. Pendapat A. Hasan pendiri dan Pemimpin Pesantren Bangil (Persis) yang menerangkan bahwa bunga bank seperti di Negara kita ini bukan riba yang diharamkan, karena tidak bersifat ganda sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Ali Imran ayat 130.
4. Pendapat Majelis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo (Jawa Timur) tahun 1968 yang memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank Negara kepada para nasabahnya, demikian pula sebaliknya adalah termasuk syubhat atau mutasyabihat, artinya tidak/belim jelas halal haramnya. Maka sesuai dengan petunjuk Hadits, kita harus berhati-hati menghadapi masalah-masalah yang semisal ini. Karena itu, jika kita dalam keadaan terpaksa atau kita dalam keadaan hajah, artinya keperluan yang mendesak/penting barulah kita diperbolehkan bermuamalah dengan bank yang menggunakan sistem bunga bank itu dengan batasan-batasannya yang telah ditetapkan dalam agama.
5. Fuad Mohammad Fachruddin, menurutnya dari silang pendapat tentang bunga bank diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Pendapat yang mengharamkan secara mutlak.
b. Pendapat yang mengharamkan jika bersifat konsumtif
c. Pendapat yang menghalalkan secara mutlak.
d. Pendapat yang hukumnya sebagai perkara syubhat (belum pasti keharaman dan kehalalannya).
Dari sini kemudian kita dapat mengetahui alasan para ulama maupun cendikiawan Muslim menganjurkan berdirinya bank Islam yakni sebagai berikut:
1. Agar umat Islam tidak selalu berada dalam keadaan darurat dan menghindarkannya dari hal-hal yang bersifat subhat/haram.
2. Untuk menyelamatkan umat Islam dari praktek bunga, riba, rente dan sebagainya yang mengandung unsur pemaksaan atau pemerasan (eksploitasi) oleh yang berekonomi kuat terhadap yang berekonomian lemah, dan juga menghindarkan dari ketimpangan yang menjadikan si kaya makin kaya dan si miskin menjadi semakin miskin.
3. Guna melepaskan ketergantungan umat Islam terhadap bank-bank konvensional (non-Islam) yang mengandung unsur syubhat/haram, dan menyebabkan umat islam berada dibawah kekuasaan asing, yang itu membuat keterpurukan dan melemahnya ekonomi Islam, sehingga umat islam tidak dapat menerapkan ajaran agamanya secara menyeluruh dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat.
4. Untuk mengaplikasikan ketentuan kaidah fiqh, “al khuruuju minal khilafi mustahabbun” (menghindari perselisihan ulama itu sunnah hukumnya), sebab ternyata hingga kini ulama maupun para cendikiawan Muslim masih saja terjadi perbedaan pendapat tentang hukum bermuamalah, khusunya dengan bank-bank non Islam (konvensional), karena masalah bunga dan semacamnya itu masih tetap kontroversial dan tidak jelas hukumnya (haram/syubhat/halal).

E. Analisis Hukum Bunga Bank
Praktik membungakan uang biasa dilakukan oleh orang-orang secara pribadi atau oleh suatu lembaga keuangan. Orang atau badan hukum yang meminjamkan uang kepada perorangan atau menyimpan uangnya dilembaga keuangan biasanya akan memperoleh imbalan bunga atau disebut bunga meminjamkan atau bunga simpanan. Sebaliknya, orang atau badan hukum yang meminjam uang dari perorangan atau lembaga keuangan diharuskan mengembalikan uang yang dipinjam ditambah bunganya, bunga ini disebut bunga pinjaman. Dari peristiwa diatas dicatat beberapa hal sebagai berikut:
1. Bunga adalah tambahan terhadap uang yang disimpan pada lembaga keuangan atau uang yang dipinjamkan
2. Besarnya bunga yang harus dibayar ditetapkan dimuka tanpa melihat apakah lembaga keuangan penerima simpanan atau peminjam sukses dalam usahanya atau tidak.
3. Besarnya bunga yang harus dibayar dicantumkan dalam angka persentase atau angka perseratus dalam setahun yang artinya apabila utang tidak dibayar atau simpanan tidak diambil dalam beberapa tahun dapat terjadi utang itu atau simpanan itu menjadi berlipat ganda jumlahnya.
Dari ketiga hal tersebut diatas tampak jelas, bahwa praktik membungakan uang adalah upaya uintuk memperoleh tambahan uang atas uiang yang semula dengan cara:
1. Pembayaran tambahan itu prakarsanya tidak datang dari yang meminjam dengan jumlah tambahan yang besarnya ditetapkan dimuka.
2. Peminjam sebenarnya tidak mengetahui dengan pasti apakah usahanya akan berhasil atau tidak dan  apakah ia akan sanggup membayar tambahan dari pinjaman itu.
3. Pembayaran tambahan uang itu dihitung dengan persentase, sehingga tidak tertutup kemungkinan suatu saat jumlah seluruh kewajiban yang harus dibayar menjadi berlipat ganda.
Dengan memahami secara lengkap mekanisme operasional perbankan konvensional, maka akan terungkap secara jelas sejauh mana kriteria riba dapat dipenuhi, seperti dalam penentuan besarnya tingkat bunga simpanan sampai kepada pergeseran biaya bunga pinjaman kepada penanggung yang terakhir. Selain itu, patut diteliti apakah tujuan pembangunan khususnya yang mengangkut masalah pengentasan kemiskinan dan pemerataan pendapatan melalui sistem perbankan konvesional dapat tercapai.

F. Bank dan Fee
Fee artinya pungutan dana yang dibebankan kepada nasabah bank untuk kepentingan administrasi, seperti keperluan kertas, dan biaya operasional. Pungutan itu pada hakikatnya termasuk bunga. Ulama yang mengharamkan bunga bank, maka mereka pun mengharamkan fee, karena berarti itu kelebihan, yaitu dengan mengambil manfaat dari sebuah transaksi utang piutang. Tegasnya, mereka menganggap fee adalah riba, meskipun fee itu digunakan untuk dana operasional.



KESIMPULAN
Fuad Muhammad Fachruddin menyebutkan bahwa rente (bunga) ialah keuntungan yang diperoleh perusahaan bank, karena jasanya meminjamkan uang untuk meancarkan perusahaan orang yang meminjam.Berkat bantuan bank yang meminjamkan uang kepadanya, perusahaannya bertambah maju dan keuntungan yang diperolehnya juga bertambah banyak.Menurutnya, bahwa rente yang dipungut oleh bank itu haram hukumnya.Sebab, pembayarannya lebih dari uang yang dipinjamkannya.
Setelah diperhatikan, dalam garis besarnya ada empat pendapat yang berkembang dalam masyarakat mengenai masalah riba ini, yaitu: (1) Pendapat yang mengharamkan, (2) Pendapat yang mengharamkan bila bersifat konsumtif, dan tidak haram bila bersifat produktif, (3) Pendapat yang membolehkan (tidak haram). dan (4) Pendapat yang mengatakan syubhat.
Fee maksudnya adalah pungutan dana untuk kepentingan administrasi, seperti keperluan kertas, biaya operasional dan lain-lain. Adapun yang namanya, pungutan itu tetap termasuk bunga. Dengan demikian, persoalannya tetap sama seperti uraian terdahulu, yaitu ada yang setuju dan ada pula yang menentangnya.



DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedia Indonesia, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1980.
Zuhdi Masfuk, Masail Fiqhiyah, Jakarta: Haji Masagung, 1988.
Sabiq Sayyid, Fiqh al-sunnah, Beirut: Dar al-fikr, 2006
Hasan M. Ali, Masail Fiqhiyah, Jakarta: Gema Insani Press, 2000
http://nieujik.blogspot.co.id/2009/01/makalah-riba-dan-bunga-bank-menurut.html

Minggu, 17 Desember 2017

Menghidupkan tanah kosong

Makalah:fikih muammalah
IHYA AL- MAWAT ( MENGHIDUPKAN TANAH  KOSONG)

D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
NAMA NIM
ELPI YUNITA SARI 1530100003
EFFRIA POHAN 1530100011
RAHMA FITRI ASIH PURBA 1530100004
FAK/ JURUSAN : FDIK/KPI
SEM : V(LIMA)

DOSEN PEMBIMBING
ZILFARONI, S.Sos.,M.A
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
JURUSAN  KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PADANGSIDIMPUAN
T.A 2017








KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, karena berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah berjudul “IHYA’ AL- MAWAT (MENGHIDUPKAN TANAH KOSONG)”
Manfaat dan tujuan penulisan makalah ini tidak lain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah IFIQIH II serta merupakan bentuk langsung tanggung jawab penulis pada tugas yang diberikan dosen pembimbing.
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada keluarga yang telah memberi dukungan dan juga kepada Dosen pembimbing Zilfaroni,S.Sos.I.,M.A yang telah membimbing dan memberi pengarahan kepada penulis. Serta kepada seluruh  pihak yang telah memberi sumbangan saran dan yang membantu penulis untuk menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini  masih banyak dijumpai kesalahan dan kekurangan dari berbagai sisi, baik dalam penggunaan bahasa, teknik penulisan dan cara penyajiannya. Untuk itu saran dan pendapat yang bermanfaat sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.


Padangsidimpuan, Oktober  2017

Penulis














A. Pendahuluan
Ihya’ almawat adalah membuka lahan tanah mati dan belum pernah ditanami sehingga tanah tersebut dapat memberikan manfaat untuk tempat tinggal, bercocok tanam dan sebagainya.islam menyukai manusia berkembang dengan membangun berbagai perumahan dan menyebar diberbagai pelosok dunia, menghidupkan ( membuka ) tanah – tanah tandus . hala itu dapat menambah kekayaan dan memenuhi kebutuhan hidup, sehingga tercapailah kemakmuran dan kekuatan mereka.
Bertolak dari hal tersebut, islam menganjurkan pada penganutnya untuk menggarap tanah yang gersang agar menjadi subur, sehingga menghasilkan kebaikan dan keberkahan dengan mengolah tanah tersebut.
B. Pengertian dan dasar Hukum Ihya al- Mawat
1. Pengertian Ihya’Al-Mawat
Secara etimologi kata Ihya  artinya menjadikan sesuatu menjadi hidup , dan  al- mawat  ialah sesuatu yang tidak bernyawa, dalam konteks ini ialah tanah yang tidak dimiliki seseorang yang belum digarap pembahasan tentang Ihya   al- mawat  berkaitan dengan persoalan tanah kosong yang belum digarap dan belum dimiliki seseorang .\
Secara terminologi , ulama  fiqih  mendefinisikan bahawa ihya – al- Mawat sebagai berikut.
1. Asy –syarbaini al- Khatib berpendapat bahwa  Ihya all-mawat  adalah menghidupkan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memann faatkan seorang pun.
2. Menurut Idris Ahmad yang dimaksud dengan  Ihya al-Mawat  adalah memanfaatkan tanah kosong untuk untuk dijadikan kebun, sawah, dan yang lainnya.
3. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa  Ihya al- Mawat  adalah penggarapan lahan / tanah yang belum dimiliki dan digarap oleh orang lain, karena ketidaan irigasi serta jauh dari pemukiman.

Dalam Al-qur’an tidak memberikan penjelasan tentang ihya’al-mawat secara umum tentang keharusan bertebaran diatas bumi untuk mencari karunia Allah.
Allah SWT berfirman:

فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
"Apabila sholat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung."
(QS. Al-Jumu'ah 62: Ayat 10)

Ihya al- Mawat bertujuan agar lahan – lahan yang gersang menjadi tertanami, yang tidak produktif  menjadi produktif , baik sebagai lahan pertanian, perkebunan, maupun untuk bangunan. Sebidang tanah atau lahan dikatakan produktif , apabila menghasilkan atau memberikan manfaat kepada masyarakat.
Adapun yang mendasari konsep Ihya al- Mawat adalah hadis- hadis Rasulullah saw. Hadis- hadis tersebut sebagai berikut;
Rasulullah saw. Bersabda :
مَنْ عَمَّرَ أَ رْ ضاً لَيْسسَتْ لِأَ حَدٍ فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا    ( روا ه البجا ري)
Artinya :  “ Barang siapa yang yang membangun sebidang tanah yang bukan hak seseorang, maka dialah yang berhak atas tanah.” ( HR. Imam al- Bukhari).
Rasullullah saw. bersabda
مَنْ ااَ حْياَ أَررْضاً مضيْتَةً فَهِيَ لَهُ    ( روا ه ا بو داود والتر مذ ى)
Artinya : “  barang siapa yang membuka tanah yang kosong , maka itu menjadi milik”.( HR.Ahmad dan Imam at- Tirmidzi).

C. Cara – cara Ihya al- Mawat
Para Ulama berbeda pendapat tentang cara mengolah tanah yang menjadi objek Ihya al- Mawat. Menurut Ulama Hanafiyah dan Malikiyah , cara pengolahannya adalah dengan menggarapnya sebagai lahan pertanian. Sementara Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa cara untuk mengolah lahan kosong, dikembalikan kepada adat – istiadat  yang berlaku di daerah itu.adapun menurut Ulama Hanabilah cara pengolahan  Ihya al-Mawat adalah cukup dilakukan dengan memagar lahan yang ingin digarap , baik untuk lahan pertanian, tempat gembala hewan, maupun untuk perumahan.
Sementara , itu Hendi Suhendi dalam buku Fikih muammalah cara – cara pengelolahan  Ihya al- Mawat secara perinci sebafgai berikut.
1. Menyuburkan . cara ini digunakan untuk lahan yang gersang , yakni lahan yang tanamannya sulit tumbuh.maka pada lahan ini perlu diberi pupuk, baik baik pupuk organik maupun non organik, sehinnga lahan itu menjadi subur dan dapat ditanami dan selanjutya mendatangkan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan.
2. Menanam pohoon . cara ini dilakukan untuk lahan – lahan yang relatif subur tetapi belum terolah .
3. Membuat pagar . hal ini dilakukan untuk menandai lahan kosong dan luas , sehingga orang lain mengetahui bahwa tanah itu telah dikuasai oleh seseorang.
4. Menggali parit, yaitu membuat parit disekeliling kebun yang yang dikuasainya, dengan maksud supaya orang lain mengetahui bahwa tanah tersebut telah ada yang menguasai , sehingga menutup jalan bagi orang lain untuk memilikinya.





Syarat – syarat yang terkait dengan orang yang mengolah , lahan yang akan diolah , dan proses pengolahan .
1. Syarat yang terkait dengan orang yang mengolah. Untuk orang yang mengolah menurut ulama Syafi’iyah haruslah seorang muslim. Adapun non muslim tidak berhak mengolah sekalipun diizinkan oleh pihak penguasa. Sementara itu, ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa orang yang akan mengolah tanah itu tidak disyaratkan seorang muslim.
2. Syarat yang terkait dengan lahan yang akan digarap, untuk kepentingan ini disyaratkan
a. Lahan itu bukan lahan yang telah dimiliki seseorang
b. Lahan itu bukan lahan yang dijadikan sarana umum bagi sebuah perkampungan, seperti lapangan olah raga, lahan untuk mengembala ternak, dan lahan untuk pemakaman.
3. Syarat yang terkait dengan pengolahan lahan.
a. Pengolahan harus mendapat izin dari pemerintah
b. Lahan tersebut harus sudah diolah dalam waktu yang telah ditentukan.
D. Izin penguasa dalam ihya al- Mawat
Para ulama berbeda pendapat tentang perlunya izin penguasa/pemerintahan untuk membuka lahan baru dan memfungsikan lahan yang gersang. Pendapat mereka terbagi dua golongan besar yaitu ulama Hanafiyah dan Malikiyah.
Hanafiyah berpendapat bahwa bagi seseorang yang akan membuka atau menghidupkan lahan yang kurang berfungsi, diwajibkan meminta izin kepada penguasa /pemerintah berdasarkan sabda Rasulullah saw.
مَنْ اَحْيَا  اَرْضاً مَيْتَةُ  فَهِيَ  لّهُ     ( رواه  ابو داود والتر مذ ى)
Artinya : “ barang siapa yang menghidupkan tanah yang mati , maka ia menjadi pemiliknya .” ( HR.Ahmad dan Tirmidzi).
Hanafiyah memahami bahwa ketika hadist ini disebabkan , Nabi Muhammad saw. Ketika itu selain berfungsi sebagai Rasulullah juga sebagai penguasa. Oleh karena itulah, pembuka lahan tersebut harus meminta izin kepada penguasa/ pemerintah.
Sementara itu  Malikiyah berpendapat, bahwa seseorang yang akan membuka lahan baru atau akan memfungsikan lahan mati atau gersang, tidak wajib meminta izin kepada penguasa /pemerintah , sebab ketika Nabi Muhammad saw, berbicara seperti yang termuat dalam hadis diatas tadi, Muhammad saw. Hanya berposisi sebagai Nabi / Rasulullah bukan sebagai penguasa. 
E. Dasar hukum
Adapun landasan hukum menghidupkan lahan kosong atauihya’ al- Mawat yaitu mustahab , yang didasarkan pada hadis Nabi saw. Yang mengatakan bahwa menghidupkan lahan tidur akan mendapatkan pahala dari Allah Swt. Dalam kitab kifayatul Akhyar hukum menghidupkan lahan kosong adalah jaiz ( boleh ) dengan syarat orang yang menghidupkan lahan tersebut adalah muslim dan tanah yang dihidupkan bukan lahan yang sudah dimiliki orang.
Dalam hal ini tidak ada bedanya seorang muslim dengan kafir dzimmi ( kafir yang tunduk kepada pemerintahan islam) karena hadist – hadist tersebut bersifat mutlak. Lagi pula harta yang telah diambil oleh kafir dzimmi menjadi miliknya dan tidak bisa dicabut darinya. Hanya saja, kepemilikikan atas tanah tersebut memiliki syarat, yakni harus dikelola selama tiga tahun sejak tanah tersebut memiliki syarat, yakni harus dikelola selama tiga tahun sejak tanah tersebut dibuka dan terus menurus dihidupkan dengan cara digarap / dimanfaatkan.
F. Objek yang berkaitan dengan ihya’ Al-Mawat
Adapun objek yang berkaitan dengan ihya al-Mawat ialah hanya berlaku untuk tanah mati , bukan tanah yang lain. Sedangkan tanah – tanah yang tidak mati, tidak bisa dimiliki kecuali bila tanah tersebut diberikan secara Cuma – Cuma oleh imam ((khalifah) , sebab ia tidak termasuk hal- hal yang mubah untuk semua orang, namun hanya mubah bagi imam.
Tidak semua lahan kosong yang boleh  dijadikan  obyek ihya’al- Mawat. Menurut Ibnu Qudamah , lahan yang akan dihidupkan itu ada dua jenis yaitu : pertama , lahan yang belum ada pemiliknya maka lahan seperti ini menjadi hak milik bagi orang yang menghidupkannya dan tidak memerlukan izin dari imam. Kedua, tanah yang ada pemiliknya tetapi tidak diketahui pemiliknya secara jelas mungkin sudah wafat dan lain sebagainya.




G. Hukum – hukum Ihya’ Al-Mawat
Menurut Syekh Muhammad Ibn Qasyim al- ghazzi, Ihya’ al-Mawat (menghidupkan bumi mati ) hukumnya boleh dengan adanya dua syarat yaitu :
1. Bahwa yang menghidupkan itu orang islam, maka disunnahkan baginya menghidupkan bumi mati, meskipun imam ( pemuka ) mengizinkan atau tidak .
2. Bumi itu jelas ( bebas ) belum ada seseorang islam pun yang memilikinya dan menurut keterangan, bahwa bumi mati itu dalam status jelas merdeka.
Semua tanah kosong yang tidak tampak padanya bekas – bekas pemilikan dan tidak tergantung dengan kemaslahatan umum, maka boleh dimiliki dengan menghidupkannya. Dan tanah kosong yang tampak padanya bekas – bekas pemilikan, tetapi tidak diketahui siapa pemiliknya, jika ia berada di negeri isalam maka tidak boleh dimiliki dengan menghidupkannya. Sedangkan kalau ia berada dinegeri kafir, ada pendapat yang mengatakan boleh dan ada pula yang mengatakan tidak boleh.
Para ulam  fikih menyatakan bahwa jika seseorang menggarap sebidang lahan kosong yang memenuhi syarat –syarat , maka akibat hukum adalah :
a. Pemilikan lahan itu .Mayoritas ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa jika seseorang telah menggarap sebidang lahan kosong, maka ia berhak atas lahan, akan tetapi , Abu al- Qasim al- Balkhi pakar Fikih Hanafi menyatakan bahwa status orang yang menggarap sebidang lahan hanyalah status hak guna tanah , bukan hak milik . ia menganalogikanya dengan seseorang yang duduk diatas tempat yang dibolehkan, maka ia hanyalah berhak memanfaatkannya bukan memilikinya.
b. Hubungan pemerintah dengan lahan itu .menurut ulama Hanabilah, Syafi’iyah dan Malikiyah pemerintah tidak boleh mengambil pajak dari hasil lahan itu, jika yang menggarapnya seorang muslim.tetapi, apabila penggarap itu seorang kafir dzimmi, pemerintah boleh mengambil pajaknya sebesar 10%. Menurut Abu yusuf, apabila yang menggarap lahan itu seorang muslim, maka pemerintah dapat memungut pajak sebesar 10 % dari hasil lahan garapan itu.

Izin Penguasa Dalam Ihya’ al-Mawat
Mayoritas ulama berbeda pendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab pemilikan tanah tanpa wajib diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang membuka lahan (tanah) baru otomatis menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin lagi kepada pemerintah. Dan penguasa (pemerintah) berkewajiban memberikan haknya apabila terjadi persengketaan mengenai hal tersebut. Imam Abu Hanifah berpendapat, pembukaan tanah merupakan sebab pemilikan (tanah), akan tetapi disyaratkan juga mendapat izin dari penguasa dalam bentuk ketetapan sesuai aturan. Namun, muridnya Abu Yusuf menganjurkan bahwa, izin dari penguasa itu tidaklah penting. Abu Yusuf menjustifikasi pendapat gurunya untuk mencegah konflik antara dua pihak yang saling mengklaim. Dalam kondisi normal, di mana tidak ada kekhawatiran semacam itu, seseorang dapat memperoleh tanah yang telah dikembangkannya tanpa izin dari pihak penguasa. Karena motif di balik pemberian kepemilikan atas tanah mati adalah mengembangkan tanah kosong agar dapat ditanami, para fuqaha menjelaskan bahwa siapa saja yang menduduki sebidang tanah mati tanpa menanaminya, ia harus meninggalkan tanah tersebut. Sedangkan imam Malik membedakan antara tanah yang berdekatan dengan area perkampungan dan tanah yang jauh darinya. Apabila tanah tersebut berdekatan, maka diharuskan mendapat izin penguasa. Namun. Apabila, jauh dari perkampungan maka tidak disyaratkan izin penguasa. Tanah tersebut otomatis menjadi milik orang yang pertama membukanya.[7]
Pada masa Rasulullah keizinan itu langsung didapatkan berdasarkan anjurannya siapa  yang membuka lahan kosong maka lahan itu menjadi miliknya. Rasulullah telah memubahkan kepada individu untuk memiliki tanah mati dengan cara menghidupkan dan memagarinya, sehingga hal itu merupakan sesuatu yang mubah. Oleh karena itu, untuk menghidupkan dan memagarinya tidak perlu izin dari imam (penguasa). Ajaran tersebut sudah menunjukkan adanya keizinan dari Rasulullah yang saat itu merupakan imam/pemimpin kaum muslimin.
Pada prinsipnya, kepemilikan asli tanah mati tetap menjadi milik negara, namun, bagi individu kepemilikannya terkait dengan pemakmurannya. Telah menjadi ketentuan umum para fuqaha bahwa seseorang yang menghidupkan tanah mati, dialah pemiliknya. Yahya meriwayatkan bahwa Nabi SAW. bersabda: “Hak kepemilikan pertama atas tanah adalah hak Allah dan Nabi, kemudian hakmu. Akan tetapi, orang yang memakmurkan setiap tanah mati memperoleh hak untuk memilikinya.”. Ini menunjukkan bahwa tanah mati merupakan perhatian utama kebijakan keuangan Islam awal. Implikasinya adalah menjadikan tanah kosong cocok untuk ditanami yang membuat kepemilikan individu atas tanah tersebut. Abu Yusuf juga berpandangan, orang yang memakmurkan tanah mati, ia memperoleh hak kepemilikan atasnya dan dapat terus menanami atau membiarkannya untuk ditanami, menggali saluran di dalamnya atau  membangunnya untuk kepentingannya.
Dari uraian di atas jelaslah, bahwa sasaran utama pemberian izin kepada individu untuk memiliki tanah mati adalah untuk mendorong menanami dan membangun tanah mati. Pemanfaatan tanah yang tidak digunakan secara alamiah menguntungkan kas negara dari segi keuangan dengan menciptakan lebih banyak pendapatan melalui pajak tanah.




Kesimpulan

Ihya’ al-mawat adalah penggarapan lahan kosong yang belum diolah dan belum dimiliki seseorang untuk dijadikan lahan produktif, baik sebagai lahan pertanian maupun mendirikan bangunan. Dasar hukum ihya’ al-mawat didasarkan pada hadis Nabi SAW. yang mengatakan bahwa menghidupkan lahan tidur akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Cara-cara Ihya’ al-Mawat adalah sebagai berikut: menyuburkan, menanam, membuat pagar, dan menggali parit.  Obyek yang berkaitan dengan Ihya al-Mawat ialah hanya berlaku untuk tanah mati. Sedangkan tanah-tanah yang tidak mati, tidak bisa dimiliki kecuali bila tanah tersebut diberikan secara cuma-cuma oleh imam (khalifah), sebab ia tidak termasuk hal-hal yang mubah untuk semua orang, namun hanya mubah bagi imam.  Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa syarat-syarat ihya’ al-mawat mencakup: orang yang menggarap, lahan yang akan digarap, dan proses penggarapan. Mayoritas ulama berbeda pendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab pemilikan tanah tanpa wajib diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang membuka lahan (tanah) baru otomatis menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin lagi kepada pemerintah. Dan penguasa (pemerintah) berkewajiban memberikan haknya apabila terjadi persengketaan mengenai hal tersebut.




DAFTAR PUSTAKA
Ghazaly Rahman Abdul , fiqih Muammalat Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010
suhendi Hendi  ,  fiqh Muammalah Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2010
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muammalat. Jakarta : Amzah , 2014
https://dark5ne55.blogspot.co.id/p/makalah-ihya-al-mawat.html?m=1

Senin, 04 Desember 2017

Puisi

           Sidimpuan Nauli

Sidimpuan nauli,
kota kelahiran ku
Kota dimana aku tumbuh dewasa
Kota subur dan hijau
Hanya disini kali pertama aku merasakan
Lezatnya daun ubi tumbuk dan sambal tuktuk

Sidimpuan nauli...
Kota yang identik dengan salak
Banyak orang menjulukinya Kota Salak
Salak natonggi natabo

Sidimpuan nauli...
Puncak yang indah Tor Simarsayang
Terlihatlah keindahan seluruh Sidimpuan
Bangunan yang tersusun rapi, sawah-sawah yang luas terbentang
Dan bebukitan yang mengelilingi kota Sidimpuan

Sidimpuan nauli...
Kota yang tak akan pernah terlupakan
Dengan keunikan becak vespanya
Rasa keripik sambal yang pedas manis dan asin
Dan Halaman Bolak yang berada dipusat kota

Sidimpuan nauli...

Copyright @ 2013 Tulisanku.