Jumat, 22 Desember 2017

Filled Under:

Bank riba dan rente

BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini, dalam kehidupan modern keberadaan bank ternyata sudah menjadi kebutuhan yang penting bagi masyarakat luas. Mulai dari yang menabung, yang meminjam uang dan sampai kepada yang menggunakan jasanya untuk mentransfer uang dari satu kota atau negara kekota atau negara lain
Mengenai perbankan ini sebenarnya sudah dikenal kurang lebih 2500 sebelum masehi di Mesir Purba dan Yunani dan kemudian oleh bangsa Romawi.Perbankan modern berkembang di Itali pada abad pertengahan yang dikuasai oleh beberapa keluarga untuk membiayai ke-Pausan dan perdagangan wol.Selanjutnya berkembang pesat pada abad ke-18 dan 19.
Sesuai dengan fungsinya bank-bank terbagi kepada bank primer, yaitu bank sirkulasi yang menciptakan uang dan bank sekunder, yaitu bank-bank yang tidak menciptakan uang, juga tidak dapat memperbesar dan memperkecil arus uang, seperti bank-bank umum, tabungan, pembiayaan usaha dan pembangunan. Dalam topik ini, ada dua masalah yang akan dibahas, yaitu bank dan rente, bank dan riba.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Bank dan Macam-macamnya
1. Pengertian dan Sejarahnya
Dalam Ensiklopedia Indonesia, bank atau perbankan adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang dengan tujuan memnuhi kebutuhan kredit dengan modal sendiri atau orang lain.
Dalam lintas sejarah sebanarnya bank telah dikenal kurang lebih 2.500 tahun sebelum Masehi dikembangkan oleh bangsa Romawi. Perbankan modern berkembang di Itali pada abad pertengahan yang dikuasai oleh beberapa keluarga untuk membiayai kepausan dan perdagangan wol.
Dilihat dari fungsinya, bank terbagi menjadi dua yaitu,
a. Bank primer, yaitu bank sirkulasi yang menciptakan uang.
b. Bank sekunder, yaitu bank menciptakan uang dan juga tidak memperbesar dan memperkecil arus uang, seperti bank-bank umum, tabungan, pembiayaan usaha, dan pembangunan.
Sedangkan rente dilihat dari segi bahasa berasal dari bahasa Belanda yaitu bunga. Sedangkan rentenir adalah orang yang menekan harga.
2. Bank Konvensional dan Bank Islam
Bank konvensional adalah lembaga keuangan yang fungsi utamanya untuk menghimpun dan yang kemudian disalurkan kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya guna investasi (penanaman modal) dan usaha-usaha yang produktif dengan sistem bunga. Contohnya BNI, BRI dan BCA.
Sedangkan bank Islam adalah suatu lembaga yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya dengan sistem tanpa bunga.  Contohnya Bank Muamalah. Tujuannya adalah untuk menghindari bunga uang yang diberlakukan bank konvensional. Sistem yang digunakan adalah:
a. Wadiah yaitu titipan uang, barang, dan surat-surat berharga.
b. Mudharabah yaitu kerjasama antara pemilik dan pelaksana.
c. Musyarakah/ syirkah yaitu persekutuan.
d. Murabahah yaitu jual beli barang dengan tambahan harga dasar atas harga pembelian yang pertama secara jujur.
e. Qard hasan yaitu pinjaman yang baik.
f. Bank Islam boleh mengelola zakat di negara yang pemerintahannya tidak mengelola zakat secara langsung.
g. Membayar gaji para karyawan bank yang melakukan pekerjaan untuk kepentingan nasabah, untuk sarana prasarana yang disediakan oleh bank dan biaya administrasi pada umumnya.

B. Riba dan Pembagiannya
Secara bahasa, riba berarti tambahan. Dalam istilah hukum Islam, riba berarti tambahan baik berupa tunai, benda, maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam untuk membayar selain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada hari jatuh waktu mengembalikan uang pinjaman itu.
Dengan kata lain riba adalah penambahan, perkembangan, peningkatan, dan pembesaran atas pinjaman pokok yang diterima pemberi pinjaman dari peminjam sebagai imbalan karena nenangguhkan atau berpisah dari sebagian modalnya selama periode waktu tertentu.
Dalam hal ini, Muhammad Ibnu Abdullah, Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitab Ahkam Al-Qur’an mengatakan bahwa tambahan yang termasuk riba adalah tambahan yang diambil tanpa ada suatu ‘iwad (penyeimbang/ pengganti) yang di benarkan syari’ah. Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab fiqh Sunah, yang di maksud riba adalah tambahan atas modal baik penambahan itu sedikit atau banyak. Oleh karena itu, pengertian riba menurut terminologi (pendapat ulama) adalah bunga kredit yang harus diberikan oleh orang yang berhutang kepada orang yang berpiutang, sebagai imbalam untuk menggunakan sejumlah milik berpiutang dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Misalnya si A memberi pinjaman pada si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman serta sekian persen tambahannya.

Macam-macam riba antara lain:
1. Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyatarkan terhadap yang berutang (muqtaridh).
2. Riba Jahiliyah
Utang dibayar lebih dari pokonya karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan. Riba jahiliyah di larang karena kaedah “kullu qordin jarra manfa ah fahuwa riba” (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba.) dari segi penundaan waktu penyerahannya, riba jahiliyah tergolong riba nasi’ah; dari segi kesamaan objek yang dipertukarkan tergolong riba fadhl.
3. Riba fadhl
Riba fadhl disebut juga riba buyu yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya sama kuantitasnya, dan sama waktu penyerahannya.
Pertukaran seperti ini mengandung gharar yaitu ketidak jelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidak jelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak dan pihak-pihak yang lain.
4. Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah juga disebut riba duyun yaitu riba yang timbul akibat utang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko dan hasil usaha muncul bersama biaya. Transaksi semisal mengandung ini pertukaran kewajiban menanggung beban hanya karena perjalannya waktu. Riba Nasi’ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya.


C. Hikmah Keharaman Riba
Menurut Yusuf Qardhawi, para ulama telah menyimpulkan hikmah diharamkannya riba yaitu:
1. Riba berarti mengambil harta orang lain tanpa hak.
2. Riba dapat melemahkan kreativitas manusia untuk berusaha atau bekerja, sehingga manusia melalaikan perdagangannya, perusahaannya.
3. Riba menghilangkan nilai kebaikan dan keadilan dalam utang piutang.
4. Biasanya orang membaeri utang adalah orang kaya dan orang yang berutang adalah orang miskin. Mengambil kelebihan utang dari orang miskin sangat bertentangan dengan sifat rahmat Allah swt.
Adapun Sayyid Sabiq berpendapat, diharamkannya riba karena didalamnya terdapat empat unsur yang merusak:
1. Menimbullan permusuhan dan menghilangkan semangat tolong menolong.
2. Riba akan melahirkan mental pemboros yang tidak mau bekerja, menimbulkan penimbunan harta tanpa usaha tak ubahnya seperti benalu yang nempel di pohon lain.
3. Riba sebagai salah satu cara menjajah.
4. Islam menghimbau agar manusia memberikan pinjaman kepada yang memerlukan dengan baik untuk mendapat pahala bukan mengekploitasi orang lemah.

D. Hukum Bunga Bank
Perbedaan pendapat mereka tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pendapat Abu Zahrah (Guru Besar Fakultas Hukum, Universitas Cairo), Abul A’la Maududi (Pakistan), Muhammad abdullah Al-‘Arabi (Penasihat Hukum pada Islamic Congres Cairo), dan lainnya yang sependapat menyatakan bahwa bunga bank itu riba nasiah, yang dilarang oleh agama Islam. Oleh karena itu umat Islam tidak diperkenankan bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga, terkecuali memang benar-benar dalam keadaan darurat atau terpaksa, dengan syarat mereka itu mengharapkan dan menginginkan lahirnya bank Islam yang tidak memakai sistem bunga sama sekali.
2. Mustafa A.Zarqa berpendapat bahwa riba yang diharamkan adalah yang bersifat konsumtif seperti yang berlaku pada zaman jahiliyah sebagai bentuk pemerasan kepada kaum lemah yang konsumtif.
3. Pendapat A. Hasan pendiri dan Pemimpin Pesantren Bangil (Persis) yang menerangkan bahwa bunga bank seperti di Negara kita ini bukan riba yang diharamkan, karena tidak bersifat ganda sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Ali Imran ayat 130.
4. Pendapat Majelis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo (Jawa Timur) tahun 1968 yang memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank Negara kepada para nasabahnya, demikian pula sebaliknya adalah termasuk syubhat atau mutasyabihat, artinya tidak/belim jelas halal haramnya. Maka sesuai dengan petunjuk Hadits, kita harus berhati-hati menghadapi masalah-masalah yang semisal ini. Karena itu, jika kita dalam keadaan terpaksa atau kita dalam keadaan hajah, artinya keperluan yang mendesak/penting barulah kita diperbolehkan bermuamalah dengan bank yang menggunakan sistem bunga bank itu dengan batasan-batasannya yang telah ditetapkan dalam agama.
5. Fuad Mohammad Fachruddin, menurutnya dari silang pendapat tentang bunga bank diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Pendapat yang mengharamkan secara mutlak.
b. Pendapat yang mengharamkan jika bersifat konsumtif
c. Pendapat yang menghalalkan secara mutlak.
d. Pendapat yang hukumnya sebagai perkara syubhat (belum pasti keharaman dan kehalalannya).
Dari sini kemudian kita dapat mengetahui alasan para ulama maupun cendikiawan Muslim menganjurkan berdirinya bank Islam yakni sebagai berikut:
1. Agar umat Islam tidak selalu berada dalam keadaan darurat dan menghindarkannya dari hal-hal yang bersifat subhat/haram.
2. Untuk menyelamatkan umat Islam dari praktek bunga, riba, rente dan sebagainya yang mengandung unsur pemaksaan atau pemerasan (eksploitasi) oleh yang berekonomi kuat terhadap yang berekonomian lemah, dan juga menghindarkan dari ketimpangan yang menjadikan si kaya makin kaya dan si miskin menjadi semakin miskin.
3. Guna melepaskan ketergantungan umat Islam terhadap bank-bank konvensional (non-Islam) yang mengandung unsur syubhat/haram, dan menyebabkan umat islam berada dibawah kekuasaan asing, yang itu membuat keterpurukan dan melemahnya ekonomi Islam, sehingga umat islam tidak dapat menerapkan ajaran agamanya secara menyeluruh dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat.
4. Untuk mengaplikasikan ketentuan kaidah fiqh, “al khuruuju minal khilafi mustahabbun” (menghindari perselisihan ulama itu sunnah hukumnya), sebab ternyata hingga kini ulama maupun para cendikiawan Muslim masih saja terjadi perbedaan pendapat tentang hukum bermuamalah, khusunya dengan bank-bank non Islam (konvensional), karena masalah bunga dan semacamnya itu masih tetap kontroversial dan tidak jelas hukumnya (haram/syubhat/halal).

E. Analisis Hukum Bunga Bank
Praktik membungakan uang biasa dilakukan oleh orang-orang secara pribadi atau oleh suatu lembaga keuangan. Orang atau badan hukum yang meminjamkan uang kepada perorangan atau menyimpan uangnya dilembaga keuangan biasanya akan memperoleh imbalan bunga atau disebut bunga meminjamkan atau bunga simpanan. Sebaliknya, orang atau badan hukum yang meminjam uang dari perorangan atau lembaga keuangan diharuskan mengembalikan uang yang dipinjam ditambah bunganya, bunga ini disebut bunga pinjaman. Dari peristiwa diatas dicatat beberapa hal sebagai berikut:
1. Bunga adalah tambahan terhadap uang yang disimpan pada lembaga keuangan atau uang yang dipinjamkan
2. Besarnya bunga yang harus dibayar ditetapkan dimuka tanpa melihat apakah lembaga keuangan penerima simpanan atau peminjam sukses dalam usahanya atau tidak.
3. Besarnya bunga yang harus dibayar dicantumkan dalam angka persentase atau angka perseratus dalam setahun yang artinya apabila utang tidak dibayar atau simpanan tidak diambil dalam beberapa tahun dapat terjadi utang itu atau simpanan itu menjadi berlipat ganda jumlahnya.
Dari ketiga hal tersebut diatas tampak jelas, bahwa praktik membungakan uang adalah upaya uintuk memperoleh tambahan uang atas uiang yang semula dengan cara:
1. Pembayaran tambahan itu prakarsanya tidak datang dari yang meminjam dengan jumlah tambahan yang besarnya ditetapkan dimuka.
2. Peminjam sebenarnya tidak mengetahui dengan pasti apakah usahanya akan berhasil atau tidak dan  apakah ia akan sanggup membayar tambahan dari pinjaman itu.
3. Pembayaran tambahan uang itu dihitung dengan persentase, sehingga tidak tertutup kemungkinan suatu saat jumlah seluruh kewajiban yang harus dibayar menjadi berlipat ganda.
Dengan memahami secara lengkap mekanisme operasional perbankan konvensional, maka akan terungkap secara jelas sejauh mana kriteria riba dapat dipenuhi, seperti dalam penentuan besarnya tingkat bunga simpanan sampai kepada pergeseran biaya bunga pinjaman kepada penanggung yang terakhir. Selain itu, patut diteliti apakah tujuan pembangunan khususnya yang mengangkut masalah pengentasan kemiskinan dan pemerataan pendapatan melalui sistem perbankan konvesional dapat tercapai.

F. Bank dan Fee
Fee artinya pungutan dana yang dibebankan kepada nasabah bank untuk kepentingan administrasi, seperti keperluan kertas, dan biaya operasional. Pungutan itu pada hakikatnya termasuk bunga. Ulama yang mengharamkan bunga bank, maka mereka pun mengharamkan fee, karena berarti itu kelebihan, yaitu dengan mengambil manfaat dari sebuah transaksi utang piutang. Tegasnya, mereka menganggap fee adalah riba, meskipun fee itu digunakan untuk dana operasional.



KESIMPULAN
Fuad Muhammad Fachruddin menyebutkan bahwa rente (bunga) ialah keuntungan yang diperoleh perusahaan bank, karena jasanya meminjamkan uang untuk meancarkan perusahaan orang yang meminjam.Berkat bantuan bank yang meminjamkan uang kepadanya, perusahaannya bertambah maju dan keuntungan yang diperolehnya juga bertambah banyak.Menurutnya, bahwa rente yang dipungut oleh bank itu haram hukumnya.Sebab, pembayarannya lebih dari uang yang dipinjamkannya.
Setelah diperhatikan, dalam garis besarnya ada empat pendapat yang berkembang dalam masyarakat mengenai masalah riba ini, yaitu: (1) Pendapat yang mengharamkan, (2) Pendapat yang mengharamkan bila bersifat konsumtif, dan tidak haram bila bersifat produktif, (3) Pendapat yang membolehkan (tidak haram). dan (4) Pendapat yang mengatakan syubhat.
Fee maksudnya adalah pungutan dana untuk kepentingan administrasi, seperti keperluan kertas, biaya operasional dan lain-lain. Adapun yang namanya, pungutan itu tetap termasuk bunga. Dengan demikian, persoalannya tetap sama seperti uraian terdahulu, yaitu ada yang setuju dan ada pula yang menentangnya.



DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedia Indonesia, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1980.
Zuhdi Masfuk, Masail Fiqhiyah, Jakarta: Haji Masagung, 1988.
Sabiq Sayyid, Fiqh al-sunnah, Beirut: Dar al-fikr, 2006
Hasan M. Ali, Masail Fiqhiyah, Jakarta: Gema Insani Press, 2000
http://nieujik.blogspot.co.id/2009/01/makalah-riba-dan-bunga-bank-menurut.html

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 Tulisanku.