Minggu, 17 Desember 2017

Filled Under:

Menghidupkan tanah kosong

Makalah:fikih muammalah
IHYA AL- MAWAT ( MENGHIDUPKAN TANAH  KOSONG)

D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
NAMA NIM
ELPI YUNITA SARI 1530100003
EFFRIA POHAN 1530100011
RAHMA FITRI ASIH PURBA 1530100004
FAK/ JURUSAN : FDIK/KPI
SEM : V(LIMA)

DOSEN PEMBIMBING
ZILFARONI, S.Sos.,M.A
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
JURUSAN  KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PADANGSIDIMPUAN
T.A 2017








KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, karena berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah berjudul “IHYA’ AL- MAWAT (MENGHIDUPKAN TANAH KOSONG)”
Manfaat dan tujuan penulisan makalah ini tidak lain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah IFIQIH II serta merupakan bentuk langsung tanggung jawab penulis pada tugas yang diberikan dosen pembimbing.
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada keluarga yang telah memberi dukungan dan juga kepada Dosen pembimbing Zilfaroni,S.Sos.I.,M.A yang telah membimbing dan memberi pengarahan kepada penulis. Serta kepada seluruh  pihak yang telah memberi sumbangan saran dan yang membantu penulis untuk menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini  masih banyak dijumpai kesalahan dan kekurangan dari berbagai sisi, baik dalam penggunaan bahasa, teknik penulisan dan cara penyajiannya. Untuk itu saran dan pendapat yang bermanfaat sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.


Padangsidimpuan, Oktober  2017

Penulis














A. Pendahuluan
Ihya’ almawat adalah membuka lahan tanah mati dan belum pernah ditanami sehingga tanah tersebut dapat memberikan manfaat untuk tempat tinggal, bercocok tanam dan sebagainya.islam menyukai manusia berkembang dengan membangun berbagai perumahan dan menyebar diberbagai pelosok dunia, menghidupkan ( membuka ) tanah – tanah tandus . hala itu dapat menambah kekayaan dan memenuhi kebutuhan hidup, sehingga tercapailah kemakmuran dan kekuatan mereka.
Bertolak dari hal tersebut, islam menganjurkan pada penganutnya untuk menggarap tanah yang gersang agar menjadi subur, sehingga menghasilkan kebaikan dan keberkahan dengan mengolah tanah tersebut.
B. Pengertian dan dasar Hukum Ihya al- Mawat
1. Pengertian Ihya’Al-Mawat
Secara etimologi kata Ihya  artinya menjadikan sesuatu menjadi hidup , dan  al- mawat  ialah sesuatu yang tidak bernyawa, dalam konteks ini ialah tanah yang tidak dimiliki seseorang yang belum digarap pembahasan tentang Ihya   al- mawat  berkaitan dengan persoalan tanah kosong yang belum digarap dan belum dimiliki seseorang .\
Secara terminologi , ulama  fiqih  mendefinisikan bahawa ihya – al- Mawat sebagai berikut.
1. Asy –syarbaini al- Khatib berpendapat bahwa  Ihya all-mawat  adalah menghidupkan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memann faatkan seorang pun.
2. Menurut Idris Ahmad yang dimaksud dengan  Ihya al-Mawat  adalah memanfaatkan tanah kosong untuk untuk dijadikan kebun, sawah, dan yang lainnya.
3. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa  Ihya al- Mawat  adalah penggarapan lahan / tanah yang belum dimiliki dan digarap oleh orang lain, karena ketidaan irigasi serta jauh dari pemukiman.

Dalam Al-qur’an tidak memberikan penjelasan tentang ihya’al-mawat secara umum tentang keharusan bertebaran diatas bumi untuk mencari karunia Allah.
Allah SWT berfirman:

فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
"Apabila sholat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung."
(QS. Al-Jumu'ah 62: Ayat 10)

Ihya al- Mawat bertujuan agar lahan – lahan yang gersang menjadi tertanami, yang tidak produktif  menjadi produktif , baik sebagai lahan pertanian, perkebunan, maupun untuk bangunan. Sebidang tanah atau lahan dikatakan produktif , apabila menghasilkan atau memberikan manfaat kepada masyarakat.
Adapun yang mendasari konsep Ihya al- Mawat adalah hadis- hadis Rasulullah saw. Hadis- hadis tersebut sebagai berikut;
Rasulullah saw. Bersabda :
مَنْ عَمَّرَ أَ رْ ضاً لَيْسسَتْ لِأَ حَدٍ فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا    ( روا ه البجا ري)
Artinya :  “ Barang siapa yang yang membangun sebidang tanah yang bukan hak seseorang, maka dialah yang berhak atas tanah.” ( HR. Imam al- Bukhari).
Rasullullah saw. bersabda
مَنْ ااَ حْياَ أَررْضاً مضيْتَةً فَهِيَ لَهُ    ( روا ه ا بو داود والتر مذ ى)
Artinya : “  barang siapa yang membuka tanah yang kosong , maka itu menjadi milik”.( HR.Ahmad dan Imam at- Tirmidzi).

C. Cara – cara Ihya al- Mawat
Para Ulama berbeda pendapat tentang cara mengolah tanah yang menjadi objek Ihya al- Mawat. Menurut Ulama Hanafiyah dan Malikiyah , cara pengolahannya adalah dengan menggarapnya sebagai lahan pertanian. Sementara Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa cara untuk mengolah lahan kosong, dikembalikan kepada adat – istiadat  yang berlaku di daerah itu.adapun menurut Ulama Hanabilah cara pengolahan  Ihya al-Mawat adalah cukup dilakukan dengan memagar lahan yang ingin digarap , baik untuk lahan pertanian, tempat gembala hewan, maupun untuk perumahan.
Sementara , itu Hendi Suhendi dalam buku Fikih muammalah cara – cara pengelolahan  Ihya al- Mawat secara perinci sebafgai berikut.
1. Menyuburkan . cara ini digunakan untuk lahan yang gersang , yakni lahan yang tanamannya sulit tumbuh.maka pada lahan ini perlu diberi pupuk, baik baik pupuk organik maupun non organik, sehinnga lahan itu menjadi subur dan dapat ditanami dan selanjutya mendatangkan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan.
2. Menanam pohoon . cara ini dilakukan untuk lahan – lahan yang relatif subur tetapi belum terolah .
3. Membuat pagar . hal ini dilakukan untuk menandai lahan kosong dan luas , sehingga orang lain mengetahui bahwa tanah itu telah dikuasai oleh seseorang.
4. Menggali parit, yaitu membuat parit disekeliling kebun yang yang dikuasainya, dengan maksud supaya orang lain mengetahui bahwa tanah tersebut telah ada yang menguasai , sehingga menutup jalan bagi orang lain untuk memilikinya.





Syarat – syarat yang terkait dengan orang yang mengolah , lahan yang akan diolah , dan proses pengolahan .
1. Syarat yang terkait dengan orang yang mengolah. Untuk orang yang mengolah menurut ulama Syafi’iyah haruslah seorang muslim. Adapun non muslim tidak berhak mengolah sekalipun diizinkan oleh pihak penguasa. Sementara itu, ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa orang yang akan mengolah tanah itu tidak disyaratkan seorang muslim.
2. Syarat yang terkait dengan lahan yang akan digarap, untuk kepentingan ini disyaratkan
a. Lahan itu bukan lahan yang telah dimiliki seseorang
b. Lahan itu bukan lahan yang dijadikan sarana umum bagi sebuah perkampungan, seperti lapangan olah raga, lahan untuk mengembala ternak, dan lahan untuk pemakaman.
3. Syarat yang terkait dengan pengolahan lahan.
a. Pengolahan harus mendapat izin dari pemerintah
b. Lahan tersebut harus sudah diolah dalam waktu yang telah ditentukan.
D. Izin penguasa dalam ihya al- Mawat
Para ulama berbeda pendapat tentang perlunya izin penguasa/pemerintahan untuk membuka lahan baru dan memfungsikan lahan yang gersang. Pendapat mereka terbagi dua golongan besar yaitu ulama Hanafiyah dan Malikiyah.
Hanafiyah berpendapat bahwa bagi seseorang yang akan membuka atau menghidupkan lahan yang kurang berfungsi, diwajibkan meminta izin kepada penguasa /pemerintah berdasarkan sabda Rasulullah saw.
مَنْ اَحْيَا  اَرْضاً مَيْتَةُ  فَهِيَ  لّهُ     ( رواه  ابو داود والتر مذ ى)
Artinya : “ barang siapa yang menghidupkan tanah yang mati , maka ia menjadi pemiliknya .” ( HR.Ahmad dan Tirmidzi).
Hanafiyah memahami bahwa ketika hadist ini disebabkan , Nabi Muhammad saw. Ketika itu selain berfungsi sebagai Rasulullah juga sebagai penguasa. Oleh karena itulah, pembuka lahan tersebut harus meminta izin kepada penguasa/ pemerintah.
Sementara itu  Malikiyah berpendapat, bahwa seseorang yang akan membuka lahan baru atau akan memfungsikan lahan mati atau gersang, tidak wajib meminta izin kepada penguasa /pemerintah , sebab ketika Nabi Muhammad saw, berbicara seperti yang termuat dalam hadis diatas tadi, Muhammad saw. Hanya berposisi sebagai Nabi / Rasulullah bukan sebagai penguasa. 
E. Dasar hukum
Adapun landasan hukum menghidupkan lahan kosong atauihya’ al- Mawat yaitu mustahab , yang didasarkan pada hadis Nabi saw. Yang mengatakan bahwa menghidupkan lahan tidur akan mendapatkan pahala dari Allah Swt. Dalam kitab kifayatul Akhyar hukum menghidupkan lahan kosong adalah jaiz ( boleh ) dengan syarat orang yang menghidupkan lahan tersebut adalah muslim dan tanah yang dihidupkan bukan lahan yang sudah dimiliki orang.
Dalam hal ini tidak ada bedanya seorang muslim dengan kafir dzimmi ( kafir yang tunduk kepada pemerintahan islam) karena hadist – hadist tersebut bersifat mutlak. Lagi pula harta yang telah diambil oleh kafir dzimmi menjadi miliknya dan tidak bisa dicabut darinya. Hanya saja, kepemilikikan atas tanah tersebut memiliki syarat, yakni harus dikelola selama tiga tahun sejak tanah tersebut memiliki syarat, yakni harus dikelola selama tiga tahun sejak tanah tersebut dibuka dan terus menurus dihidupkan dengan cara digarap / dimanfaatkan.
F. Objek yang berkaitan dengan ihya’ Al-Mawat
Adapun objek yang berkaitan dengan ihya al-Mawat ialah hanya berlaku untuk tanah mati , bukan tanah yang lain. Sedangkan tanah – tanah yang tidak mati, tidak bisa dimiliki kecuali bila tanah tersebut diberikan secara Cuma – Cuma oleh imam ((khalifah) , sebab ia tidak termasuk hal- hal yang mubah untuk semua orang, namun hanya mubah bagi imam.
Tidak semua lahan kosong yang boleh  dijadikan  obyek ihya’al- Mawat. Menurut Ibnu Qudamah , lahan yang akan dihidupkan itu ada dua jenis yaitu : pertama , lahan yang belum ada pemiliknya maka lahan seperti ini menjadi hak milik bagi orang yang menghidupkannya dan tidak memerlukan izin dari imam. Kedua, tanah yang ada pemiliknya tetapi tidak diketahui pemiliknya secara jelas mungkin sudah wafat dan lain sebagainya.




G. Hukum – hukum Ihya’ Al-Mawat
Menurut Syekh Muhammad Ibn Qasyim al- ghazzi, Ihya’ al-Mawat (menghidupkan bumi mati ) hukumnya boleh dengan adanya dua syarat yaitu :
1. Bahwa yang menghidupkan itu orang islam, maka disunnahkan baginya menghidupkan bumi mati, meskipun imam ( pemuka ) mengizinkan atau tidak .
2. Bumi itu jelas ( bebas ) belum ada seseorang islam pun yang memilikinya dan menurut keterangan, bahwa bumi mati itu dalam status jelas merdeka.
Semua tanah kosong yang tidak tampak padanya bekas – bekas pemilikan dan tidak tergantung dengan kemaslahatan umum, maka boleh dimiliki dengan menghidupkannya. Dan tanah kosong yang tampak padanya bekas – bekas pemilikan, tetapi tidak diketahui siapa pemiliknya, jika ia berada di negeri isalam maka tidak boleh dimiliki dengan menghidupkannya. Sedangkan kalau ia berada dinegeri kafir, ada pendapat yang mengatakan boleh dan ada pula yang mengatakan tidak boleh.
Para ulam  fikih menyatakan bahwa jika seseorang menggarap sebidang lahan kosong yang memenuhi syarat –syarat , maka akibat hukum adalah :
a. Pemilikan lahan itu .Mayoritas ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa jika seseorang telah menggarap sebidang lahan kosong, maka ia berhak atas lahan, akan tetapi , Abu al- Qasim al- Balkhi pakar Fikih Hanafi menyatakan bahwa status orang yang menggarap sebidang lahan hanyalah status hak guna tanah , bukan hak milik . ia menganalogikanya dengan seseorang yang duduk diatas tempat yang dibolehkan, maka ia hanyalah berhak memanfaatkannya bukan memilikinya.
b. Hubungan pemerintah dengan lahan itu .menurut ulama Hanabilah, Syafi’iyah dan Malikiyah pemerintah tidak boleh mengambil pajak dari hasil lahan itu, jika yang menggarapnya seorang muslim.tetapi, apabila penggarap itu seorang kafir dzimmi, pemerintah boleh mengambil pajaknya sebesar 10%. Menurut Abu yusuf, apabila yang menggarap lahan itu seorang muslim, maka pemerintah dapat memungut pajak sebesar 10 % dari hasil lahan garapan itu.

Izin Penguasa Dalam Ihya’ al-Mawat
Mayoritas ulama berbeda pendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab pemilikan tanah tanpa wajib diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang membuka lahan (tanah) baru otomatis menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin lagi kepada pemerintah. Dan penguasa (pemerintah) berkewajiban memberikan haknya apabila terjadi persengketaan mengenai hal tersebut. Imam Abu Hanifah berpendapat, pembukaan tanah merupakan sebab pemilikan (tanah), akan tetapi disyaratkan juga mendapat izin dari penguasa dalam bentuk ketetapan sesuai aturan. Namun, muridnya Abu Yusuf menganjurkan bahwa, izin dari penguasa itu tidaklah penting. Abu Yusuf menjustifikasi pendapat gurunya untuk mencegah konflik antara dua pihak yang saling mengklaim. Dalam kondisi normal, di mana tidak ada kekhawatiran semacam itu, seseorang dapat memperoleh tanah yang telah dikembangkannya tanpa izin dari pihak penguasa. Karena motif di balik pemberian kepemilikan atas tanah mati adalah mengembangkan tanah kosong agar dapat ditanami, para fuqaha menjelaskan bahwa siapa saja yang menduduki sebidang tanah mati tanpa menanaminya, ia harus meninggalkan tanah tersebut. Sedangkan imam Malik membedakan antara tanah yang berdekatan dengan area perkampungan dan tanah yang jauh darinya. Apabila tanah tersebut berdekatan, maka diharuskan mendapat izin penguasa. Namun. Apabila, jauh dari perkampungan maka tidak disyaratkan izin penguasa. Tanah tersebut otomatis menjadi milik orang yang pertama membukanya.[7]
Pada masa Rasulullah keizinan itu langsung didapatkan berdasarkan anjurannya siapa  yang membuka lahan kosong maka lahan itu menjadi miliknya. Rasulullah telah memubahkan kepada individu untuk memiliki tanah mati dengan cara menghidupkan dan memagarinya, sehingga hal itu merupakan sesuatu yang mubah. Oleh karena itu, untuk menghidupkan dan memagarinya tidak perlu izin dari imam (penguasa). Ajaran tersebut sudah menunjukkan adanya keizinan dari Rasulullah yang saat itu merupakan imam/pemimpin kaum muslimin.
Pada prinsipnya, kepemilikan asli tanah mati tetap menjadi milik negara, namun, bagi individu kepemilikannya terkait dengan pemakmurannya. Telah menjadi ketentuan umum para fuqaha bahwa seseorang yang menghidupkan tanah mati, dialah pemiliknya. Yahya meriwayatkan bahwa Nabi SAW. bersabda: “Hak kepemilikan pertama atas tanah adalah hak Allah dan Nabi, kemudian hakmu. Akan tetapi, orang yang memakmurkan setiap tanah mati memperoleh hak untuk memilikinya.”. Ini menunjukkan bahwa tanah mati merupakan perhatian utama kebijakan keuangan Islam awal. Implikasinya adalah menjadikan tanah kosong cocok untuk ditanami yang membuat kepemilikan individu atas tanah tersebut. Abu Yusuf juga berpandangan, orang yang memakmurkan tanah mati, ia memperoleh hak kepemilikan atasnya dan dapat terus menanami atau membiarkannya untuk ditanami, menggali saluran di dalamnya atau  membangunnya untuk kepentingannya.
Dari uraian di atas jelaslah, bahwa sasaran utama pemberian izin kepada individu untuk memiliki tanah mati adalah untuk mendorong menanami dan membangun tanah mati. Pemanfaatan tanah yang tidak digunakan secara alamiah menguntungkan kas negara dari segi keuangan dengan menciptakan lebih banyak pendapatan melalui pajak tanah.




Kesimpulan

Ihya’ al-mawat adalah penggarapan lahan kosong yang belum diolah dan belum dimiliki seseorang untuk dijadikan lahan produktif, baik sebagai lahan pertanian maupun mendirikan bangunan. Dasar hukum ihya’ al-mawat didasarkan pada hadis Nabi SAW. yang mengatakan bahwa menghidupkan lahan tidur akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Cara-cara Ihya’ al-Mawat adalah sebagai berikut: menyuburkan, menanam, membuat pagar, dan menggali parit.  Obyek yang berkaitan dengan Ihya al-Mawat ialah hanya berlaku untuk tanah mati. Sedangkan tanah-tanah yang tidak mati, tidak bisa dimiliki kecuali bila tanah tersebut diberikan secara cuma-cuma oleh imam (khalifah), sebab ia tidak termasuk hal-hal yang mubah untuk semua orang, namun hanya mubah bagi imam.  Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa syarat-syarat ihya’ al-mawat mencakup: orang yang menggarap, lahan yang akan digarap, dan proses penggarapan. Mayoritas ulama berbeda pendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab pemilikan tanah tanpa wajib diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang membuka lahan (tanah) baru otomatis menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin lagi kepada pemerintah. Dan penguasa (pemerintah) berkewajiban memberikan haknya apabila terjadi persengketaan mengenai hal tersebut.




DAFTAR PUSTAKA
Ghazaly Rahman Abdul , fiqih Muammalat Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010
suhendi Hendi  ,  fiqh Muammalah Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2010
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muammalat. Jakarta : Amzah , 2014
https://dark5ne55.blogspot.co.id/p/makalah-ihya-al-mawat.html?m=1

1 komentar:

  1. assalamualaikum
    coba jelaskan bagaimana hukum menghidupkan tanah kosong apabila tanah itu lagi dalam persangketaan???/

    BalasHapus

Copyright @ 2013 Tulisanku.