Jumat, 22 Desember 2017

Filled Under:

Asuransi


A. Pendahuluan
Kegiatan bisnis asuransi kini makin berkembang, yang membawa konsekuensi berkembang pula hukum bisnis asuransi. Salah satu kegiatan bisnis asuransi yang muncul dalam masyarakat adalah bisnis asuransi syariah. Dalam undang-undang yang mengatur tentang bisnis perasuransian, belum diatur tentang asuransi syariah. Namun, dalam praktik perasuransian ternyata bisnis asuransi syari’ah sudah banyak dikenal masyarakat.
Asuransi syariah merupakan bidang bisnis asuransi yang cukup memperoleh perhatian besar di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagai bisnis asuransi alternatif, asuransi syriah boleh dikatakan relatif baru dibandingkan dengan bidang bisnis asuransi konvensional. Kebaruan bisnis asuransi syariah adalah pengoperasian kegiatan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah yang bersumber dari alquran dan hadis serta fatwa para ulama terutama yang terhimpun dalam majelis ulama Indonesia (MUI).
Pada prinsipnya, yang membedakan asuransi syariah dengan asuransi konvensional adalah asuransi syariah menghapuskan unsur ketidakpastian (gharar), unsur spekulasi alias perjudian (maisir), dan unsur bunga uang (riba) dalam kegiatan bisnisnya sehingga peserta asuransi (tertanggung) merasa terbebas dari praktik kezaliman yang merugikan nya. Agar masyarakat dapat memahami konsep asuransi syariah secara wajar, perlu dilakukan penyuluhan dari hasil penelitian yang telah dilakukan melaui publikasi yang lebih luas.

B. Pengertian Asuransi
Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris, insurance yang menurut Echols dan Shadilly memaknai dengan (a) asuransi dan (b) jaminan.  Menurut Muhammad Muslehuddin asuransi adalah persiapan yang dibuat oleh sekelompok orang yang masing-masing menghadapi kerugian kecil sebagai sesuatu sesuatu yang tidak dapat diduga. Apabila kerugian itu menimpa salah seorang dari mereka yang menjadi anggota perkumpulan tersebut, maka kerugian tersebut akan ditanggung bersama.  Istilah asuransi, menurut pengertian ekonomi menunjukkan suatu aransemen ekonomi yang menghilangkan atau mengurangi akibat-akibat yang merugikan di masa akan datang kerena berbagai kemungkinan sejauh menyangkut kekayaan (vermoegen) seorang individu. Kemungkinan-kemungkinan tersebut harus bersifat tidak tetap (casual) bagi individu yang dipengaruhinya, sehingga setiap kejadian merupakan peristiwa yang tak terduga. Asuransi membagi rata segala akibat yang merugikan atas serangkaian kasus yang terancam oleh bahaya yang sama namun belum benar-benar terjadi.

C. Rukun dan Syarat Asuransi
Adapun rukun dan syarat yang dimaksud adalah:
1. Modal
Modal usaha yang diberikan berupa uang tunai, tetapi bukan hanya uang tunai saja, dari emas dan perak juga bisa dijadikan syarat sebagian ulama’. Karena masa sekarang kesulitan dengan emas ataupun perak, namun bisa dengan uang kertas atau kertas berharga lainnya. Modal harus diketahui secara pasti dan jelas. Sehingga dalam menentukan keuntungan yang akan diperoleh dari usaha dapat diketahui wujudnya pada saat terjadi perjanjian.
2. Pemilik Modal dan Pengelola
Adapun syarat pemilik modal dan pengelola yaitu:
a. Balig, keduanya sudah dikatakan balig bila sudah dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk.
b. Berakal, yaitu seorang yang berfikir logis sehingga pemilik modal menempatkan sebagian hartanya dengan pertimbangan bahwa pengelola modal mampu mengembangkan modal yang ada.
c. Atas kerelaan sendiri dimana setiap pihak yang melakukan transaksi tidak merasa dipaksa.
3. Pekerjaan
Dalam pekerjaan mensyaratkan berupa perdagangan. Pelaku niaga diberi kebebasan melakukan perniagaan tanpa dibatasi waktu. Apabila mereka sepakat untuk persyaratan tertentu untuk menjamin keuntungan dan mempertinggi produktivitas, maka tidaklah salah asalkan persyaratan itu sesuai dengan ketentuan syariat.
4. Keuntungan
Dalam keuntungan disyaratkan khusus dua orang untuk bekerjasama dan dijelaskan secara rinci. Prosentase keuntungan yang akan dibagi antara pemilik modal dan pengelola harus dijelaskan dan ditentukan misalnya sepertiga atau satu perdua. Persentase keuntungan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
5. Sighat
Dalam melakukan akad harus terjadi sighat. Menurut ulama’ Hanafi dan Hambali tidak selalu disertai dengan ucapan, dengan cara saling memberi dan menerima sejumlah modal usahanya sudah sah hukumnya.

D. Macam-macam Asuransi
1. Asuransi Dwiguna
Yaitu asuransi yang memiliki dua guna atau dua keperluan. Asuransi jenis ini dapat ditempuh dalam jangka waktu 10-30 tahun. Adapun dua guna asuransi tersebut yaitu:
a. Perlindungan bagi keluarga, bilamana tertanggung meninggal dunia dalam janga waktu pertanggungan.
b. Menjadi tabungan bagi tertanggung, bilamna tertanggung tetap hidup sampai akhir jangka masa pertanggungan.
2. Asuransi jiwa
Yaitu asuransi yang bertujuan menanggung orang terhadap kerugian finansial yang tidak terduga yang disebabkan oleh seseorang meninggal terlalu cepat atau hidupnya terlalu panjang.
3. Asuransi kebakaran
Bertujuan untuk mengganti kerugian yang disebabkan kebakaran.
4. Asuransi atas bahaya yang menimpa anggota tubuh
Yaitu asuransi dimana dengan sebab-sebab tertentu mengakibatkan kerusakan pada tubuh sesorang, seperti rusaknya mata, telinga, putusnya tangan dan patahnya kaki.
5. Asuransi terhadap pertanggungan sipil
Yaitu asuransi yang diadakan untuk perlindungan terhadap benda-benda penting dan berharga, seprti kendaraan, rumah, perhiasan, dan alat-alat perusahaan.

E. Hukum Islam (syariah)
Al-Qur’an sendiri tidak menyebutkan secara tegas ayat yang
menjelaskan tentang praktek asuransi seperti yang ada pada saat ini. Hal ini
terindikasi dengan tidak munculnya istilah asuransi atau at-ta’mi>n secara
nyata dalam Al-Qur’an. Walaupun begitu Al-Qur’an masih mengakomodir
ayat-ayat yang mempunyai muatan nilai-nilai dasar yang ada dalam praktek
asuransi, seperrti nilai dasar tolong menolong, kerja sama, atau semangat
untuk melakukan proteksi terhadap peristiwa kerugian dimasa yang akan
datang. Dalil tersebut antara lain dalam surat al-Maidah ayat 2 yang berbunyi:

.... َوَتـَ ع َ اونُوا َ علَى الِِّْ بر َو َّ التـْقَوى َولا َتـَ ع َ اونُوا َ علَى ِْ الإثم َوالْعُْ دَو ِ ان َوَّ اتـُ قوا اللَّهَ إِ َّ ن اللَّهَ َ ش ِ د ُ يد الْعَِق ِ اب
Artinya: “… Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan
dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Ayat di atas memuat kata perintah (amr) yaitu tolong menolong antar sesama manusia, dalam bisnis asuransi ini terlihat dalam praktek kerelaan anggota (nasabah) untuk menyisihkan dananya agar digunakan sebagai dana sosial (tabarru’) yang berbentuk rekening tabarru’ yang berfungsi untuk menolong salah satu anggota yang sedang mengalami musibah.

F. Pendapat Ulama tentang Asuransi
1. Ulama fiqh kelompok pertama diantaranya syaikh Ibnu Abidin dari mazhab Hanafi, mereka semua mengharmkan asuransi dengan alasan:
a. Asuransi sama dengan judi.
b. Asuransi mengandung ketidakjelasan dan ketidakpastian, karena tertanggung diwajibkan membayar sejumlah premi yang telah ditentukan, sedangkan berapa jumlah yang akan dibayarkan tidak jelas. Lebih dari itu belum ada kepastian apakah jumlah tertentu itu akan diberikan kepada tertanggung atau tidak.
c. Asuransi mengandung unsur riba, karena tertanggung akan memperoleh sejumlah uang yang lebih besar daripada premi yang dibayarnya.
d. Mengandung unsur eksploitasi karena tertanggung kalau tidak dapat membayar preminya, uangnya bisa hilang atau dikurangi dari jumlah uang premi yang telah dibayarkan.
2. Ulama fiqh yang termasuk kelompok kedua, membolehkan secara mutlak asuransi karena alasan berikut:
a. Tidak ada Nash al-Qur’an dan Hadis yang melarang asuransi.
b. Dalam asuransi terdapat kesepakataan dan kerelaan antara kedua belah pihak.
c. Asuransi saling menguntungkan keduan belah pihak.
d. Asuransi mengandung kepentingan umum.
e. Asuransi termasuk akad mudharabah antara pemegang polis dan perusahaan asuransi.
f. Asuransi termasuk syirkah ta’wuniah, yaitu usaha bersama yang didasarkan pada prinsip tolong menolong.
3. Ulama fiqh yang termasuk kelompok ketiga yaitu Muhammad Abu Zahra, menyimpulkan bahwa asuransi yang bersifat sosial (tolong menolong) adalah halal dan sebagai aktivitas alami yang perlu diwujudkan keberadaannya.
4. Ulama fiqh yang menganggap asuransi sebagai subhat, dengan alasan tidak ada dalil yang secara tegas mengharamkannya dan menghalalkannya, sementara dapat dirasakan pada asuransi terkandung keuntungan sekaligus kerugian pada pihak-pihak yang terlibat.

G. Prinsip Asuransi Syariah
1. Dibangun atas dasar kerja sama (ta’awun)
2. Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabrru’ ataumudhoroba
3. Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian) oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
4. Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan harus disertai dengan niat membantu demi menegakkan prinsip ukhuwa
5. Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akantetapi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
6. Apabila uang itu akan dikembangkan maka harus dijalankan menurut aturan syar’i
7. Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong menolong). Dimana nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengan mengalami kesulitan.
8. Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syari’ah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah).
9. Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegangamana untuk mengelolanya
10. Bila ada peserta yang terkena musibah untuk pembayaran klaim nasabah dana diambilkan dari rekening tabarru’ (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diiklaskan untuk keperluan tolong menolong.
11. Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah salaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola dengan prinsip bagi hasil.
12. Adanya dewan pengawas syariah dalam perusahaan asuransi syariah yang merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemenn produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat islam. (Abdul aziz 2010.hlm 192).




















KESIMPULAN
Asuransi syariah atau yang lebih dikenal dengan at-ta’min, takaful,atautadhamun adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/ pihak melalui inventasi dalam bentuk asset atau tabarru’ memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah .
Kehadiran asuransi syariah diawali dengan beroperasinya bank syariah. Hal ini sesuai dengan Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan dan ketentuan pelaksanaan bank syariah. Pada saat ini bank syariah membutuhkan jasa asuransi syariah guna mendukung permodalan dan investasi dana.
Alquran dan hadis merupakan sumber utama hukum islam, namun dalam menetapkan prinsip-prinsip maupun praktik dan operasional asuransi syariah, parameter yang senantiasa menjadi rujukan adalah syariah islam.
konsep asuransi syariah adalah suatu konsep di mana terjadi saling memikul risiko diantara sesama peserta sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko yang muncul. Saling pukul risiko ini dilakukan atas dasar saling menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan danatabarru’ atau dana kebajikan (derma) yang tujuannya untuk menanggung risiko. Dalam sistem operasional, asuransi syari’ah telah terhindar dari hal-hal yang diharamkan oleh para ulama, yaitu gharar,maisir, dan riba.









DAFTAR PUSTAKA
Ali Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Jakarta: Kencana, 2004
Muslehuddin Mohammad, Asuransi dalam Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997
Muslehuddin Mohammad, Menggugat Asuransi Modern, Jakarta: Lentera, 1999
Suhendi Hendi, Fiqh Mua’malah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005
http://febrianimila98.blogspot.co.id/2016/11/makalah-asuransi-syariah.html?m=1

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 Tulisanku.