Minggu, 17 September 2017

Filled Under:

Utang piutang, hiwalah, dan shulhu

MAKALAH FIQIH
TENTANG UTANG PIUTANG, HIWALAH, DAN SHULHU
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
NAMA          : RAHMA FITRI ASIH PURBA
NIM              : 1530100004
SEM/JUR     : KPI/ V(LIMA)

Dosen pengampuh:
Zilfaroni, S.Sos.I.,M.A

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
T.A. 2017/2018
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatu...
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah  ini dengan judul “UTANG PIUTANG,  HIWALAH, dan SHULHU”, serta tak lupa pula saya haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi kita Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahilia, dari zaman kebodohan menuju zaman yang sekarang ini yakni zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Makalah ini di persiapkan dan di susun untuk memenuhi tugas kuliah serta menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, di dalam makalah ini saya menyadari bahwa penulisanya masih sangat sederhana dan jauh dari kesempurnaan. Namun, besar harapan saya semoga makalah yang disusun ini bisa bermanfaat. Saya selaku penulis makalah ini dapat terselesaikan atas usaha keras saya dan bantuan rekan-rekan dalam diskusi untuk mengisi kekuranganya.
Dalam pembuatan makalah ini saya sangat menyadari bahwa baik dalam penyampaian maupun penulisan masih banyak kekurangannya untuk itu saran dan kritik dari berbagai pihak sangat saya harapkan untuk penunjang dalam pembuatan makalah saya berikutnya.
Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh...

   Padangsidimpuan, 16 September 2017

     Penulis


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. ............. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ............. ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
         A. Latar Belakang........................................................................................................ 1
         B. Rumusan Masalah................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................... 2
A.Pengertian ‘Ariyah................................................................................................ 2
B.Dasar hukum ‘ariyah............................................................................................. 2
C.Rukun dan syarat ‘ariyah...................................................................................... 3
D.Pengertian hiwalah................................................................................................. 5
E.Dasar hukum hiwalah............................................................................................6
F.Rukun dan syarat hiwalah....................................................................................6
G.Pengertian shulhu.. ..............................................................................................9
H.Dasar hukum shulhu............................................................................................9
BAB III PENUTUP.................................................................................................... 13
A.Kesimpulan........................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 15







BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar belakang masalah
Hutang piutang adalah perkara yang tidak bisa dipisahkan dalam interaksi kehidupan manusia. Ketidakmerataan dalam hal materi adalah salah satu penyebab munculnya perkara ini. Selain itu juga adanya pihak yang menyediakan jasa peminjaman (hutang) juga ikut ambil bagian dalam transaksi ini.
Islam sebagai agama yang mengatur segala urusan dalam kehidupan manusia juga mengatur mengenai perkara hutang piutang. Konsep hutang piutang yang ada dalam Islam pada dasarnya adalah untuk memberikan kemudahan bagi orang yang sedang kesusahan. Namun pada zaman sekarang, konsep muamalah sedikit banyak telah bercampur aduk dengan konsep yang diadopsi dari luar Islam. Hal ini sedikit demi sedikit mulai menyisihka, menggeser, bahkan bisa menghilangkan konsep muamalah Islam itu sendiri. Oleh karena itulah, perkara hutang piutang ini penting untuk diketahui oleh umat Islam agar nantinya bisa melaksanakan transaksi sesuai dengan yang telah disyariatkan oleh Allah swt.
Bertolak dari apa yang sedikit diuraikan di atas, makalah ini dibuat untuk  memaparkan apa yang telah disyariatkan oleh agama Islam terkait  (hutang piutang) dengan kajian normatif yang dikutip dari berbagai sumber terkait definisi, landasan hukum,dan lain sebagainya.

B.Rumusan Masalah
1.Jelaskan pengertian dan ruang lingkup utang piutang!
2.Jelaskan pengertian hiwalah dan ruang lingkupnya!
3.Jelaskan pengertian shulhu dan ruang lingkupnya!




BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian ‘Ariyah
Secara etimologi, ‘ariyah diambil dari kata ‘Aara yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat ‘ariyah berasal dari kata ‘At-Ta'aawuru yang sama artinya dengan At-Tanaawulu au At-Tanaasubu yang berarti saling menukar dan mengganti dalam konteks tradisi pinjam meminjam.
Secara terminologi syara’, ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefinisikan ‘ariyah, antara lain:
1.Ibnu Rif’ah berpendapat, bahwa yang dimaksud ‘ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya, supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.
2.Menurut pendapat al-Malikiyah, ‘ariyah adalah kepemilikan atas manfaat suatu barang tanpa ada adanya imbalan. Sedangkan menurut Syafi’iyah dan Hambali ‘ariyah adalah pembolehan untuk mengambil manfaat suatu barang tanpa adanya imbalan.
3.Amir Syarifuddin berpendapat, ‘ariyah adalah transaksi atas manfaat suatu barang tanpa imbalan.
Sebagai salah satu bentuk akad atau transaksi ‘ariyah dapat berlaku pada seluruh jenis tingkatan masyarakat. Ia dapat berlaku pada masyarakat tradisional maupun masyarakat modern, dan oleh sebab itu dapat diperkirakan bahwa jenis akad atau transaksi ini sudah sangat tua yaitu sejak manusia yang satu berhubungan dengan yang lainnya.

B.Dasar Hukum ‘Ariyah
Adapun dasar hukum dibolehkannya bahkan disunnahkannya ‘ariyah adalah:
Allah SWT berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحِلُّوْا شَعَآئِرَ اللّٰهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَـرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَٓائِدَ وَلَاۤ آٰمِّيْنَ الْبَيْتَ الْحَـرَامَ يَبْـتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًا    ؕ  وَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا   ؕ  وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَـرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْا  ۘ  وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰى ۖ  وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖ  وَاتَّقُوا اللّٰهَ   ؕ  اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban), dan Qalaid (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya."
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 2)

C.Rukun dan syarat-syarat ‘Ariyah
Adapun rukun ‘ariyah menurut Jumhur ulama ada empar, yaitu:
1.Orang yang meminjamkan atau Mu'ir
2.Orang yang meminjam atau Musta'ir
3.Barang yang dipinjam atau Mu'ar
4.Lafal atau sight pinjaman atau sighat ‘ariyah.
Adapun syarat-syarat ‘ariyah sebagai berikut:
1.Orang yang meminjam itu adalah orang yang telah berakal dan cakap bertindak hukum, karena orang yang tidak berakal tidak dapat dipercayai memegang amanah.
2.Barang yang dipinjam bukan jenis barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau musnah seperti makanan.
3.Barang yang dipinjamkan itu harus secara langsung dapat dikuasai oleh peminjam. Artinya, dalam akad atau transaksi ‘ariyah pihak peminjam haru menerima langsung barang itu dan dapat dimanfaatkan secara langsung pula.
4.Manfaat barang yang dipinjam itu termasuk manfaat yang mubah atau dibolehkan syara’.

D.Pembayaran Pinjaman dan Tanggung jawab Peminjam
Setiap orang yang meminjam sesuatu pada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang. Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk perbuatan aniaya.
Rasulullah saw bersabda:
“Orang kaya yang memperlambat atau melalaikan kewajiban membayar utang adalah zalim atau berbuat aniaya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang. Jika penambahan tersebut dikehendaki oleh orang yang memberi utang atau telah menjadi perjanjian dalam akad perutangan, maka tambahan tersebut tidak halal bagi yang berpiutang untik mengambilnya.
Menurut Hanafiyah akad ‘ariyah yang semula bersifay amanah dapat berubah menjadi akad yang dikanakan ganti rugi, dalam hal-hal sebagai berikut:
a.Apabila barang itu secara sengaja dimusnahkan atau dirusak.
b.Apabila barang itu tidak dipelihara sma sekali.
c.Apabila pemanfaatan barang pinjaman itu tidak sesuai dengan adat yang berlaku, atau tisak sesuai dengan syarat yang disepakati bersama ketika berlangsungnya akad.
d.Apabila pihak peminjam melakukan sesuatu yang berbeda dengan syarat yang ditentuakn sejak semula dalam akad.

E.Tata krama Berutang
Ada beberapa hal yang menjadi penekanan dalam pinjam memunjam atau utang piutang tentang tata krama yang terkait didalamnya, diantaranya sebagai berikut:
1.Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya atau mengembalikannya.
2.Pihak yang berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak yang berutang. Bila yang meminjam belum mampu mengembalikan, pihak yang memberikan utang memberikan waktu penundaan untuk membayarnya. Dan jika yang meminjam betul-betul tidak mampu mengembalikan maka yang memnijamkan hendaknya membebaskannya.
3.Demi terjaganya hubungan baik hendaknya utang piutang diperkuat dengan tulosan dari kedua belah pihak dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau dengan seorang saksi laki-laki dan dua orang saksi wanita.
4.Ketika mengembalikan utang atau pinjaman hendaknya peminjam mengembalikan sesuai dengan kualitas dan kuantitas barang yang dipinjam dan bila mungkin sebagai rasa terimakasih peminjam mengembalikan pinjaman dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik.
5.Pihak yang berutang bila telah mampu membayar utangnya hendaklah mempercepat membayar utangnya sebab sebagaimana dalam hadis, melalaikan dalam membayar pinjaman atau utang, berarti ia telah berbuat zalim kepada pemberi pinjaman atau utang padahal ia telah menolongnya.

F.Syarat Piutang Menjadi Amal Sholih
1. Harta yang diutangkan adalah harta yang jelas dan murni kehalalannya, bukan harta yang haram atau tercampur dengan sesuatu yang haram.
2. Pemberi piutang / pinjaman tidak mengungkit-ungkit atau menyakiti penerima pinjaman baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
3. Pemberi piutang/pinjaman berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas, hanya mengharap pahala dan ridho dari-Nya semata. Tidak ada maksud riya’ (pamer) atau sum’ah (ingin didengar kebaikannya oleh orang lain).
4. Pinjaman tersebut tidak mendatangkan tambahan manfaat atau keuntungan sedikitpun bagi pemberi pinjaman.

G.Pengertian Hiwalah
Secara etimologi hiwalah diambil dari kata tahwil yang berarti intiqal yang artimya pemindahan. Hiwalah adalah memindahkan utang dari tanggungan orang yang berutang atau al-muhil menjadi tanggungan orang yang akan melakukan pembayaran utang atau al-muhal ‘alaih.
Sedangkan secara terminologi, para ulama mendefinisikan hiwalah sebagai berikut:
1.Wahbah al-Juhailo berpendapar, hiwalah adalah pengalihan kewajiban membayar utang dari beban pihak pertama kepada pigak lain yang berutang kepadanya atas dasar slainh mempercayai.
2.Imam Taqiyyudin berpendapat, hiwalah adalah peminahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.
3.Syihabudin al-Qalyubi berpendapat bahwa, hiwalah adalah akad atau transaksi yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang keada yang lainnya.

H.Dasar Hukum Hiwalah
Akad atau transaksi hiwalah ini dibolehkan dalam muamalah. Dasar kebolehannya adalah hadis nabi yang berbunyi sebagai berikut:
“Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah kezaliman. Dan jika slah seorang diantara kamu dihiwalahkan kepada orang kaya yang mampu maka turutlah”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Adapun hikmah dan tujuan dibolehkannya akad hiwalah ini adalah untuk memberikan kemudahan dalam bermuamalah dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan.

I.Rukun dan Syarat-syarat Hiwalah
Ulama Hanafiyah berpendapat, bahwa yang menjadi rukun hiwalah adalah:
1.Ijab atau pernyataan hiwalah dari pihak pertama, muhil
2.Qabul atau pernyataan menerima hiwalah dari pihak kedua, al-Muhal
3.Pihak ketiga, al-Muhal ‘alaih.
Syarat-syarat yang diperlukan pihak pertama (al-muhil) adalah:
1.Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baligh dan berakal.
2.Ada pernyataan persetujuan atau rida. Jika pihak pertama dipaksa untuk melakukan hiwalah maka akad itu tidak sah.
Syarat-syarat yang diperlukan oleh pihak kedua (al-muhal) adalah:
1.Cakap melakukan tundakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak pertama.
2.Ada persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan hiwalah.

Syarat-syarat yang diperlakukan oleh pihak ketiga (al-Muhal ‘alaihi):
1.Baligh dan berakal, sebagaimana pihak pertama dan kedua
2.Adanya pernyataan persetujuan dari pihak ketiga.

Syarat-syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan adalah:
1.Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk uang piutang yang telah pasti.
2.Pembayaran utang itu mesti sama waktu jatuh tempo pembayarannya. Jika terjadi perbedaan tempo pembayaran diantara kedua utang itu, maka hiwalag tidak sah.
3.Utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada pihak kedua mestilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika terjadi perbedaan diantara keduanya maka hiwalah tidak sah.

J.Beban Muhil setelah Hiwalah
Dalam buku Fiqh sunnah, Sayyid Sabiq mengatakan bahwa apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil menjadi gugur. Andai kata muhil ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah adanya hiwalah atau meninggal dunia maka pihak kedua (al-muhal) tidak boleh kembali lagi berurusan dengan pihak pertama (al-muhil) karena memang utangnya telah dihiwalahkan.
Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam keadaan muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang mengutangkannya boleh menagih lagi utangnya kepada pihak pertama. Sedangkan mazhab Maliki berpendapat apabila muhil telah menipu muhal ternyata muhal ‘alaih adalah orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil.
Perlu dikemukakan bahwa akad hiwalah mempunyai jangka waktu berlakunya. Akad hiwalah akan berakhir apabila:
1.Salah satu pihak yang sedang melakukan akad itu membatalkan akad hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap. Dengan adanya pembatalan akad itu pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran utang kepada pihak pertama.
2.Pihak ketiga telah melunasi utang yang dialihkan itu kepada pihak kedua.
3.Pihak kedua menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan utang dalam akad hiwalah itu kepada pihak ketiga.
4.Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk membayar utang yang dialihkan itu.
5.Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua. Dalam hal ini tentu beban utang pihak ketiga tersebut diperhitungkan dalam pembagian warisan.

Macam-macam Hiwalah
1.      Hiwalah Muthlaqoh
Hiwalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain (orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka hiwalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hiwalah ini sebagai kafalah.
2.      Hiwalah Muqoyyadah
Hiwalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah hiwalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hiwalah muqayyadah dan menyariatkan pada hiwalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hiwalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hiwalah tidak sah.
3.      Hiwalah Haq
Hiwalah ini adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai Muhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi jika piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
4.      Hiwalah Dayn
Hiwalah ini adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hiwalah Haq. Pada hakekatnya hiwalah dayn sama pengertiannya dengan hiwalah yang telah diterangkan di depan.
Hiwalah Dayn dan Haqq sesungguhnya sama saja, tergantung dari sisi mana melihatnya. Disebut Hiwalah  Dayn jika kita memandangnya sebagai pengalihan hutang, sedangkan sebutan Haqq, jika kita memandangnya sebagai pengalihan piutang. Berdasarkan definisi ini, maka anjak piutang (factoring) yang terdapat pada praktik perbankan, termasuk ke dalam kelompok Hiwalah Haqq, bukan Hiwalah Dayn.

K.Pengertian Shulhu
Secara bahasa, kata al-Shulhu berarti memutuskan pertengkaran/perselisihan.
Secada istilah syara' ulama mendefinisikan shulhu sebagai berikut:
1.Menurut Taqiy al-Din Abu Bakar Ibnu Muhammad al-Husaini yaitu,
“Akad yang memutuskan perselisihan dua pihak yang bertengkar (berselisih).
2.Hasby Asy-Shiddieqi, shulhu adalah akad uang disepakati oleh dua orang yang bertengkar dalam hak untuk melaksanakan sesuatu, dengan akad itu akan dapat hilang perselisihan.
3.Sayyid Sabiq, shulhu adalah suatu akad untuk mengakhiri perlawanan/perselisihan antara dua orang yang berlawanan.
Sulh adalah perjanjian yang terjadi antara dua orang yang berselisih dengan maksud untuk menghilangkan perselisihan diantara mereka berdua.

L.Dasar Hukum Shulhu

Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa' 4: Ayat 128

وَاِنِ امْرَاَةٌ خَافَتْ مِنْۢ بَعْلِهَا نُشُوْزًا اَوْ اِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَاۤ اَنْ يُّصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا   ؕ  وَالصُّلْحُ خَيْرٌ    ؕ  وَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّ   ؕ  وَاِنْ تُحْسِنُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
"Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian, itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu memperbaiki (pergaulan dengan istrimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh-takacuh), maka sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan."

Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hujurat 49: Ayat 9

وَاِنْ طَآئِفَتٰنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا ۚ  فَاِنْۢ بَغَتْ اِحْدٰٮهُمَا عَلَى الْاُخْرٰى فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتّٰى تَفِيْٓءَ اِلٰٓى اَمْرِ اللّٰهِ  ۚ  فَاِنْ فَآءَتْ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَاَقْسِطُوْا   ؕ  اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
"Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil."

Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa' 4: Ayat 114

لَا خَيْرَ فِيْ كَثِيْرٍ مِّنْ نَّجْوٰٮهُمْ اِلَّا مَنْ اَمَرَ بِصَدَقَةٍ اَوْ مَعْرُوْفٍ اَوْ اِصْلَاحٍۢ بَيْنَ النَّاسِ   ؕ  وَمَن يَّفْعَلْ ذٰ لِكَ ابْتِغَآءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ فَسَوْفَ نُـؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا
"Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barang siapa berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar."

Hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Turmudzi
“Mendamaikan dua muslim (yang berselisih) itu hukumnya boleh kecuali perdamaian yang mengarah kepada upaya mengharamkan yang halal dan mengahalalkan yang haram”.

M.Rukun dan Syarat Shulhu
Rukun Shulhu antara lain:
1.Mushalih yaitu dua belah oihak yang melakukan akad shulhu untuk mengakhiri pertengkaran atau perselisihan.
2.Mushalih anhu yaitu persoalan yang diperselisihkan
3.Mushalih bih yaitu sesuatu yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap lawannya untuk memutuskan perselisihan.
4.Sighat ijab kabul yang masing-masing dilakukan oleh dua pihak yang berdamai.

Syarat-syarat Shulhu antara lain:
1.Syarat yang berhubungan dengan mushalih yaitu disyaratkan mereka adalag orang yang tindakannya dinyatakan sah secara hukum.
2.Syaray yang berhubungan dengan mushalih bih yaitu
•Berbentuk harta yang dapar dinilai, diserah terimakan, dan berguna.
•Diketahui secara jelas sehingga tidak ada kesamaran yang dapat menimbulkan perselisihan.
3.Syarat yang berhubungan dengan mushalih anhu yaitu sesuatu yang diperkirakan termasuk hak manusia yang boleh diiwadkan (diganti). Jika berkaitan dengan hak-hak Allah maka tidak dapat bershulhu.

N.Macam-macam Shulhu
1.Perdamaian antara muslim dan kafir, yaitu membuat perjanjian untuk meletakkan senjata dalam masa tertentu secara bebas atau dengan cara menggati kerugian yang diatur olah UU yang telag disepakati bersama.
2.Perdamaian antara kepala negara dan pemberontak.
3.Perdamaian suami dan istri yaitu membuat perjanjian dan aturan tentang pembagian nafkah, masalah durhaka, serta dalam masalag menyerahkan haknya kepada suaminya manakala terjadi perselisihan.
4.Perdamaian dalam muamalah, yaitu yang berkaitan dengan masalah yang terkait dengan perselisihan yang terjadi dalam masalah muamalah seperti utang piutang.

Dilihat dari cara melakukannya, shulhu dibagi menjadi tiga yaitu:
1.Shulhu dengan ikrar yaitu shulhu yang dicapai melalui ikrar. Contohnya, seorang mendakwa orang lain berutang, kemudian terdakwa mengakui hal tersebut. Lalu kedua berdamai dimana si pendakwa mengambil sesuatu dari si terdakwa.
2.Shulhu dengan ingkar, yiatu perdamaian yang dicapai melalui cara menolak.
3.Shulhu dengan sukut (diam) yaitu perdamaian yang dicapai dengan cara diam.
Dilihat dari keabsahannya shulhu dibagi menjadi dua:
1.Shulhu Ibra yaitu melepaskan sebagian dari apa yang menjadi haknya. Shulhu ibra ini tidak terikat oleh syarat.
2.Shulhu muawadah yaitu berpalingnya seseorang dari haknya kepada orang lain. Hukum yang berlaku pada shulhu ini adalah hukum jual beli.

Hikmah Shulhu
Islam mensyariatkan suluh (perdamaian) adalah untuk menjaga dan memecahkan persoalan-persoalan tersebut sehingga akan terbina hidup rukun, damai, tolong menolong, bahu-membahu dan akan tetap terpelihatanya persatuan dan kesatuan baik antara sesama muslim dengan bukan muslim.


PENUTUP
Kesimpulan
Sebagai salah satu bentuk akad atau transaksi ‘ariyah dapat berlaku pada seluruh jenis tingkatan masyarakat. Ia dapat berlaku pada masyarakat tradisional maupun masyarakat modern, dan oleh sebab itu dapat diperkirakan bahwa jenis akad atau transaksi ini sudah sangat tua yaitu sejak manusia yang satu berhubungan dengan yang lainnya.
Islam mensyariatkan suluh (perdamaian) adalah untuk menjaga dan memecahkan persoalan-persoalan tersebut sehingga akan terbina hidup rukun, damai, tolong menolong, bahu-membahu dan akan tetap terpelihatanya persatuan dan kesatuan baik antara sesama muslim dengan bukan muslim.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Juhaili Wahbah, al-Fiqh al-Islami Wa adilatuhu, Damaskus: Dar al-Fiqr al-Mua’sshim, 2005
M.hammad  Taqiyyudin Abi Bakr, Kifayat al-Akhyar, Bandung: Al-Maarif, tt.
Ghazaly Rahman Abdul , dkk, Fiqh Muamalat, Jakarta: PRENADAMEDIA, 2015
al-Khatib Asy-Syarbaini , Mughni al-Muhtaj, Beirut: Dar Fikr, 1978
http://mugnisulaeman.blogspot.co.id/2013/09/makalah-hiwalah.html?m=1
Al-Jazairi Jabir Abi Bakr, Pedoman Hidup Muslim, Jakarta: Litera AntarNusa, 1996

1 komentar:

  1. Newest Casino Site In Australia - Lucky Club
    Newest Casino luckyclub.live Site In Australia – Lucky Club. The site is run by Australia-based operator Lucky Club. The site was designed to provide more fun and gambling

    BalasHapus

Copyright @ 2013 Tulisanku.