Senin, 25 September 2017

Syirkah, Ijaroh, 'Ariyah

BAB II
PEMBAHASAN

I. Syirkah
a. Pengertian Syirkah
Secara bahasa kata syirkah berarti al-ikhtilath (percampuran) dan persekutuan.  Yang dimaksud dengan percampuran disini adalah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga sulit untuk dibedakan.
Adapun menurut istilah ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama:
1. Menurut Ulama Hanafiah
“Akad antara dua orang yang berserikat pada pokok harta (modal) dan keuntungan”.
2. Menurut Ulama Malikiyah
“Izin untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka”.
3. Menurut Hasby Asy-Shiddiqie
“Akad yang berlaku antara dua orang atau lebih untuk saling tolong menolong dalam suatu usaha dan membagi keuntungannya”.
Dari tiga definisi diatas dapat disimpulkan bahwa syirkah yaitu bentuk kerjasama antara dua orang atau lebih dalam sebuah usaha danp konsekuensi keuntungan dan kerugiannya ditanggung secara bersama.

b. Dasar Hukum Syirkah
Allah SWT berfirman dalam QS. Sad 38: Ayat 24

قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ اِلٰى نِعَاجِهٖ    ؕ  وَاِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ الْخُلَـطَآءِ لَيَبْغِيْ بَعْضُهُمْ عَلٰى بَعْضٍ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَقَلِيْلٌ مَّا هُمْ    ؕ  وَظَنَّ دَاوٗدُ اَنَّمَا فَتَنّٰهُ فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهٗ وَخَرَّ رَاكِعًا وَّاَنَابَ
"Dia (Dawud) berkata, Sungguh, dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk (ditambahkan) kepada kambingnya. Memang banyak di antara orang-orang yang bersekutu itu berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; dan hanya sedikitlah mereka yang begitu. Dan Dawud menduga bahwa Kami mengujinya; maka dia memohon ampunan kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertobat."

Adapun dalam hadis Rasulullah saw bersabda:
“Allah swt berfirman: “Aku adalah yang ketiga dari dua orang yang bersekutu selagi satu tidak berkhianat terhadap yang lain. Kalau dia berkhianat terhadap kawannya, maka Aku pun keluarlah dari persekutuan mereka”.

c. Rukun dan Syarat Syirkah
Menurut Hanafiyah rukun syirkah hanya ada dua yaitu ijab dan kabul.
Sedangkan syarat-syarat syirkah menurut Hanafiyah terbagi menjadi empat, yaitu:
• Syarat yang berkaitan dengan semua bentuk syirkah baik harta maupun lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu:
• Berkaitan dengan benda yang diakadkan (ditransaksikan) harus berupa benda yang dapat diterima sebagai perwakilan.
• Berkaitan dengan keuntungan, pembagiannya harus jelas dan disepakati oleh kedua belah pihak, mislanya setengah dan sepertiga.
• Syarat yang terkait dengan harta.
• Modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran yang sah.
• Adanya pokok harta (modal) ketika akad berlangsung baik jumlahnya sama atau berbeda.
• Syarat yang terkait dengan syirkah mufawadah
• Modal pokok harus sama
• Orang yang ber- syirkah yaitu ahli kafalah
• Objek akad disyaratkan syirkah umum, yaitu semua macam jual beli atau perdagangan.
Menurut Idris Ahmad, syarat syirkah yaitu:
1. Mengungkapkan kata yang menunjukkan izin anggota yang berserikat kepada pihak yang akan mengendalikan harta itu.
2. Anggota serikat saling memercayai. Sebab masing-masing mereka merupakan wakil yang lainnya.
3. Mencampurkan harta sehingga tidak dapar dibedakan hak masing-masing, baik berbentuk mata uang atau yang lainnya.

d. Macam-macam Syirkah
1. Syirkah Amlak (perserikatan dalam kepemilikan)
Yaitu bila lebih dari satu orang memiliki suatu jenis barang tanpa akad baik bersifat ikhtiari atau jabari. Artinya barang tersebut dimiliki oleh dua orang atau lebih tanpa didahului oleh akad.  Hak kepemilikan tanoa akad itu dapat disebabkan oleh dua sebab:
1. Ikhtiari atau disebut (syirkah amlak ikhtiari) yaitu perserikatam yang muncul akibat tindakan hukum orang yang berserikat, seperti dua orang sepakat membeli suatu barang atau keduanya menerima hibah, wasiat, atau wakaf dari orang lain maka benda-benda ini menjadi harta serikat (bersama) bagi mereka berdua.
2. Jabari (syirkah amlak jabari) yaitu perserikatan yang muncul secara paksa bukan keinginan orang yang berserikat.
Hukum syirkah amlak yaitu disesuaikan dengan hak masing-masing yaitu bersifat sendiri-sendiri secara hukum. Artinya seseorang tidak berhak untuk menggunakan atau mengauasai milik mitranya tanpa izin dari yang bersangkutan.

2. Syirkah Uqud (perserikatan berdasarakan akad)
Yaitu dua orang atau lebih melakukan akad untuk bekerja sama (berserikat) dalam modal dan keuntungan. Artinya, kerja sama ini didahului oleh trasaksi dalam penanaman modal dan kesepakatan pembagian keuntungannya.
a) Syirkah Inan yaitu penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang tidak selalu sama jumlahnya. Boleh satu pihak memiliki modal lebih besar dari pihak lain.
b) Syirkah al-mufawadhah yaitu perserikatan dimana modal semua pihak dan bentuk kerjasama yang mereka lakukan baik kualitas dan kuantitasnya harus sama dan keuntungan dibagi rata. Menurut Sayyid Sabiq ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:
• Jumlah modal masing-masing sama, jika berbeda maka tidak sah.
• Memiliki kewenangan bertindak yang sama. Maka tidak sah syirkah antara anak kecil dan orang dewasa.
• Agama yang sama.
• Masing-masing pihak dapat bertindak menjadi penjamin bagi yang lain atas apa yang dibeli atau dijual.
c) Syirkah al-Abdan yaitu perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan.
d) Syirkah al-wujuh
Yaitu perserikatan tanpa modal, artinya dua orang atau lebih membeli suatu barang tanpa modal, yang terjadi adalah hanya berpegang kepada nama baik dan kepercayaan para pedagang terhadap mereka. Dengan catatan keuntungan untuk mereka. Syirkah ini adalah syirkah tanggungjawab yang tanpa kerja dan modal.
e) Syirkah mudharabah yaitu persetujuan antara pemilik modal dan seorang pekerja untuk mengelola uang dari pemilik modal dalam suatu perdagangan tertentu yang keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama. Adapun kerugian ditanggung oleh pemilik modal saja. Menurut Hanabilah mudharabah dapat dikatan syirkah jika memenuhi syarat berikut:
• Pihak-pihak yang berserikat cakap dalam bertindak sebagai wakil.
• Modalnya berbentuk uang tunai.
• Jumlah modal jelas.
• Diserahkan langsung kepada pekerja (pengelola) dagangan itu setelah akad disetujui
• Pembagian keuntungan diambil dari hasil perserikatan itu bukan dari harta yang lain.

e. Hak masing-masing sekutu dalam Syirkah
Masing-masing sekutu dalam syirkah punya hak mencabut kembali akad persyerikatannya kapan saja dia kehendaki. Karena syirkah itu akad permufakatan. Maka untuk bubar pun boleh, seperti halnya mewakilkan. Dan sebagaimana masing-masing punya hak untuk mengundurkan diri sepertu itu, maka diapun punya hak untuk memecat kawannya. Jika terjadi kematian pada salah seorang sekutu, maka syirkah pun dengan sendirinya bubar. Dan demikian ouka kalau salah seorang kemudian gila atau hilang akal, maka dihukumi sama dengan yang mati. Karena sama-sama tidak layak lagi menggunakan wewenangnya.

II. Ijarah
• Pengertian Ijarah
Secara etimologi al-ijarah berasal dari kata al-Ajru yang berarti al-'Iwadh/ penggantian.
Adapun secara etimologi, para ulama fiqh antara lain:
1. Menurut Sayyid Sabiq, al-ijarah adalahsuatu jenis akad atau transaksi untuk mengambil manfaat dengan jalan memberi penggantian.
2. Menurut ulama Syafi’iyah al-ijarah adalah suatu jenis akad atau transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah, dan boleh dimanfaatkan dengan cara memberi imbalan tertentu.
3. Menurut Amir Syarifuddin al-ijarah secara sederhana daoat diartiakn dengan akad atau transakasi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu.

Ijarah adalah perjanjian yang tetap untuk memanfaatkan sesuatu dalam waktu tertentu dengan harga yang telah disepakati.

• Dasar Hukum Ijarah
Hukum asalnya menurut Jumhur Ulama adalah mubah atau boleh bila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh syara' berdasarkan al-qur’an dan hadis.
Allah SWT berfirman:

اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْـتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ وَلَا تُضَآرُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوْا عَلَيْهِنَّ    ؕ  وَاِنْ كُنَّ اُولَاتِ حَمْلٍ فَاَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتّٰى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ   ۚ  فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَـكُمْ فَاٰ تُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ   ۚ  وَأْتَمِرُوْا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوْفٍ ۚ  وَاِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهٗۤ اُخْرٰى  
"Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan kandungannya, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya."
(QS. At-Talaq 65: Ayat 6)

Allah SWT berfirman:

قَالَتْ اِحْدٰٮہُمَا يٰۤاَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ  ۖ   اِنَّ خَيْرَ  مَنِ اسْتَـأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْاَمِيْنُ
"Dan salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, Wahai ayahku! Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya."
(QS. Al-Qasas 28: Ayat 26)

Sedangkan dalam hadis Rasulullah bersabda:
“Berikanlah upah atau jasa kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringat mereka”.

• Rukun dan syarat Ijarah
Menurut Hanafiyah rukun al-ijarah hanya satu yaitu ijab dan qabul dari dua belah pihak yang bertransakasi. Adapun menurut Jumhur ulama rukun ijarah yaitu:
1. Dua orang yang berakad
2. Sighat (ijab dan kabul)
3. Sewa atau imbalan
4. Manfaat.
Adapun syarat-syarat ijarah yaitu:
1. Yang terkait dengan dua orang yang berakad yaitu baligh dan berakal.
2. Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya melakukan akad al-ijarah.
3. Manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui, sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari.
4. Ojek ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya.
5. Objek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan syara'
6. Yang disewakan itu bukan suatu kewajian bagi penyewa.
7. Objek ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan seperti rumah, kendaraan, dan alat-alat perkantoran.
8. Upah atau sewa dalam ijarah harus jelas, tertentu, dan sesuatu yang memiliki nilai ekonomi.

• Pembatalan dan Berakhirnya al-ijarah
Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa akad al-ijarah itu bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara seoihak aoabila terdapat uzur dari salah satu pihak yang berakad seperti, salah satu pihak wafat, atau kehilangan kecakapan bertindak dalam hukum.
Akad al-ijarah berakhir bila ada hal-hal berikut:
a. Objek al-ijarah hilang atau musnah, seperti rumah yang disewakan terbakar atau kendaraan yang disewa hilang.
b. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berkahir.
c. Wafatnya salah seorang yang berakad
d. Apabila ada uzur dari salah satu pihak.

Sementara menurut Sayyid Sabiq, al-ijarah akan menjadi batal dan berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:
1. Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika ditangan penyewa.
2. Rusaknya barang yang disewakan.
3. Rusaknga barang yang diupahkan.
4. Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah ditentukam dan selesainya pekerjaan.
5. Tercurinya barang-barang dagangan, dan kehabisan modal.
III. ‘Ariyah
• Pengertian ‘Ariyah
Secara etimologi, ‘ariyah diambil dari kata ‘Aara yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat ‘ariyah berasal dari kata ‘At-Ta'aawuru yang sama artinya dengan At-Tanaawulu au At-Tanaasubu yang berarti saling menukar dan mengganti dalam konteks tradisi pinjam meminjam.
Secara terminologi syara’, ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefinisikan ‘ariyah, antara lain:
1. Ibnu Rif’ah berpendapat, bahwa yang dimaksud ‘ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya, supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.
2. Menurut pendapat al-Malikiyah, ‘ariyah adalah kepemilikan atas manfaat suatu barang tanpa ada adanya imbalan. Sedangkan menurut Syafi’iyah dan Hambali ‘ariyah adalah pembolehan untuk mengambil manfaat suatu barang tanpa adanya imbalan.
3. Amir Syarifuddin berpendapat, ‘ariyah adalah transaksi atas manfaat suatu barang tanpa imbalan.
Sebagai salah satu bentuk akad atau transaksi ‘ariyah dapat berlaku pada seluruh jenis tingkatan masyarakat. Ia dapat berlaku pada masyarakat tradisional maupun masyarakat modern, dan oleh sebab itu dapat diperkirakan bahwa jenis akad atau transaksi ini sudah sangat tua yaitu sejak manusia yang satu berhubungan dengan yang lainnya.

• Dasar Hukum ‘Ariyah
Adapun dasar hukum dibolehkannya bahkan disunnahkannya ‘ariyah adalah:
Allah SWT berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحِلُّوْا شَعَآئِرَ اللّٰهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَـرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَٓائِدَ وَلَاۤ آٰمِّيْنَ الْبَيْتَ الْحَـرَامَ يَبْـتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًا    ؕ  وَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا   ؕ  وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَـرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْا  ۘ  وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰى ۖ  وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖ  وَاتَّقُوا اللّٰهَ   ؕ  اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban), dan Qalaid (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya."
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 2)

• Rukun dan syarat-syarat ‘Ariyah
Adapun rukun ‘ariyah menurut Jumhur ulama ada empar, yaitu:
1. Orang yang meminjamkan atau Mu'ir
2. Orang yang meminjam atau Musta'ir
3. Barang yang dipinjam atau Mu'ar
4. Lafal atau sight pinjaman atau sighat ‘ariyah.
Adapun syarat-syarat ‘ariyah sebagai berikut:
• Orang yang meminjam itu adalah orang yang telah berakal dan cakap bertindak hukum, karena orang yang tidak berakal tidak dapat dipercayai memegang amanah.
• Barang yang dipinjam bukan jenis barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau musnah seperti makanan.
• Barang yang dipinjamkan itu harus secara langsung dapat dikuasai oleh peminjam. Artinya, dalam akad atau transaksi ‘ariyah pihak peminjam haru menerima langsung barang itu dan dapat dimanfaatkan secara langsung pula.
• Manfaat barang yang dipinjam itu termasuk manfaat yang mubah atau dibolehkan syara’.

• Pembayaran Pinjaman dan Tanggung jawab Peminjam
Setiap orang yang meminjam sesuatu pada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang. Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk perbuatan aniaya.
Rasulullah saw bersabda:
“Orang kaya yang memperlambat atau melalaikan kewajiban membayar utang adalah zalim atau berbuat aniaya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang. Jika penambahan tersebut dikehendaki oleh orang yang memberi utang atau telah menjadi perjanjian dalam akad perutangan, maka tambahan tersebut tidak halal bagi yang berpiutang untik mengambilnya.
Menurut Hanafiyah akad ‘ariyah yang semula bersifay amanah dapat berubah menjadi akad yang dikanakan ganti rugi, dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Apabila barang itu secara sengaja dimusnahkan atau dirusak.
b. Apabila barang itu tidak dipelihara sma sekali.
c. Apabila pemanfaatan barang pinjaman itu tidak sesuai dengan adat yang berlaku, atau tisak sesuai dengan syarat yang disepakati bersama ketika berlangsungnya akad.
d. Apabila pihak peminjam melakukan sesuatu yang berbeda dengan syarat yang ditentuakn sejak semula dalam akad.

• Tata krama Berutang
Ada beberapa hal yang menjadi penekanan dalam pinjam memunjam atau utang piutang tentang tata krama yang terkait didalamnya, diantaranya sebagai berikut:
1. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya atau mengembalikannya.
2. Pihak yang berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak yang berutang. Bila yang meminjam belum mampu mengembalikan, pihak yang memberikan utang memberikan waktu penundaan untuk membayarnya. Dan jika yang meminjam betul-betul tidak mampu mengembalikan maka yang memnijamkan hendaknya membebaskannya.
3. Demi terjaganya hubungan baik hendaknya utang piutang diperkuat dengan tulosan dari kedua belah pihak dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau dengan seorang saksi laki-laki dan dua orang saksi wanita.
4. Ketika mengembalikan utang atau pinjaman hendaknya peminjam mengembalikan sesuai dengan kualitas dan kuantitas barang yang dipinjam dan bila mungkin sebagai rasa terimakasih peminjam mengembalikan pinjaman dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik.
5. Pihak yang berutang bila telah mampu membayar utangnya hendaklah mempercepat membayar utangnya sebab sebagaimana dalam hadis, melalaikan dalam membayar pinjaman atau utang, berarti ia telah berbuat zalim kepada pemberi pinjaman atau utang padahal ia telah menolongnya.

• Syarat Piutang Menjadi Amal Sholih
1. Harta yang diutangkan adalah harta yang jelas dan murni kehalalannya, bukan harta yang haram atau tercampur dengan sesuatu yang haram.
2. Pemberi piutang / pinjaman tidak mengungkit-ungkit atau menyakiti penerima pinjaman baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
3. Pemberi piutang/pinjaman berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas, hanya mengharap pahala dan ridho dari-Nya semata. Tidak ada maksud riya’ (pamer) atau sum’ah (ingin didengar kebaikannya oleh orang lain).
4. Pinjaman tersebut tidak mendatangkan tambahan manfaat atau keuntungan sedikitpun bagi pemberi pinjaman.



KESIMPULAN
Syirkah yaitu bentuk kerjasama antara dua orang atau lebih dalam sebuah usaha dan konsekuensi keuntungan dan kerugiannya ditanggung secara bersama.
Hak masing-masing sekutu dalam Syirkah:
Masing-masing sekutu dalam syirkah punya hak mencabut kembali akad persyerikatannya kapan saja dia kehendaki. Karena syirkah itu akad permufakatan. Maka untuk bubar pun boleh, seperti halnya mewakilkan. Dan sebagaimana masing-masing punya hak untuk mengundurkan diri sepertu itu, maka diapun punya hak untuk memecat kawannya. Jika terjadi kematian pada salah seorang sekutu, maka syirkah pun dengan sendirinya bubar. Dan demikian ouka kalau salah seorang kemudian gila atau hilang akal, maka dihukumi sama dengan yang mati. Karena sama-sama tidak layak lagi menggunakan wewenangnya.

Ijarah adalah perjanjian yang tetap untuk memanfaatkan sesuatu dalam waktu tertentu dengan harga yang telah disepakati.
Ariyah adalah kepemilikan atas manfaat suatu barang tanpa ada adanya imbalan. Sedangkan menurut Syafi’iyah dan Hambali ‘ariyah adalah pembolehan untuk mengambil manfaat suatu barang tanpa adanya imbalan.

Minggu, 17 September 2017

Utang piutang, hiwalah, dan shulhu

MAKALAH FIQIH
TENTANG UTANG PIUTANG, HIWALAH, DAN SHULHU
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
NAMA          : RAHMA FITRI ASIH PURBA
NIM              : 1530100004
SEM/JUR     : KPI/ V(LIMA)

Dosen pengampuh:
Zilfaroni, S.Sos.I.,M.A

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
T.A. 2017/2018
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatu...
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah  ini dengan judul “UTANG PIUTANG,  HIWALAH, dan SHULHU”, serta tak lupa pula saya haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi kita Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahilia, dari zaman kebodohan menuju zaman yang sekarang ini yakni zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Makalah ini di persiapkan dan di susun untuk memenuhi tugas kuliah serta menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, di dalam makalah ini saya menyadari bahwa penulisanya masih sangat sederhana dan jauh dari kesempurnaan. Namun, besar harapan saya semoga makalah yang disusun ini bisa bermanfaat. Saya selaku penulis makalah ini dapat terselesaikan atas usaha keras saya dan bantuan rekan-rekan dalam diskusi untuk mengisi kekuranganya.
Dalam pembuatan makalah ini saya sangat menyadari bahwa baik dalam penyampaian maupun penulisan masih banyak kekurangannya untuk itu saran dan kritik dari berbagai pihak sangat saya harapkan untuk penunjang dalam pembuatan makalah saya berikutnya.
Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh...

   Padangsidimpuan, 16 September 2017

     Penulis


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. ............. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ............. ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
         A. Latar Belakang........................................................................................................ 1
         B. Rumusan Masalah................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................... 2
A.Pengertian ‘Ariyah................................................................................................ 2
B.Dasar hukum ‘ariyah............................................................................................. 2
C.Rukun dan syarat ‘ariyah...................................................................................... 3
D.Pengertian hiwalah................................................................................................. 5
E.Dasar hukum hiwalah............................................................................................6
F.Rukun dan syarat hiwalah....................................................................................6
G.Pengertian shulhu.. ..............................................................................................9
H.Dasar hukum shulhu............................................................................................9
BAB III PENUTUP.................................................................................................... 13
A.Kesimpulan........................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 15







BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar belakang masalah
Hutang piutang adalah perkara yang tidak bisa dipisahkan dalam interaksi kehidupan manusia. Ketidakmerataan dalam hal materi adalah salah satu penyebab munculnya perkara ini. Selain itu juga adanya pihak yang menyediakan jasa peminjaman (hutang) juga ikut ambil bagian dalam transaksi ini.
Islam sebagai agama yang mengatur segala urusan dalam kehidupan manusia juga mengatur mengenai perkara hutang piutang. Konsep hutang piutang yang ada dalam Islam pada dasarnya adalah untuk memberikan kemudahan bagi orang yang sedang kesusahan. Namun pada zaman sekarang, konsep muamalah sedikit banyak telah bercampur aduk dengan konsep yang diadopsi dari luar Islam. Hal ini sedikit demi sedikit mulai menyisihka, menggeser, bahkan bisa menghilangkan konsep muamalah Islam itu sendiri. Oleh karena itulah, perkara hutang piutang ini penting untuk diketahui oleh umat Islam agar nantinya bisa melaksanakan transaksi sesuai dengan yang telah disyariatkan oleh Allah swt.
Bertolak dari apa yang sedikit diuraikan di atas, makalah ini dibuat untuk  memaparkan apa yang telah disyariatkan oleh agama Islam terkait  (hutang piutang) dengan kajian normatif yang dikutip dari berbagai sumber terkait definisi, landasan hukum,dan lain sebagainya.

B.Rumusan Masalah
1.Jelaskan pengertian dan ruang lingkup utang piutang!
2.Jelaskan pengertian hiwalah dan ruang lingkupnya!
3.Jelaskan pengertian shulhu dan ruang lingkupnya!




BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian ‘Ariyah
Secara etimologi, ‘ariyah diambil dari kata ‘Aara yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat ‘ariyah berasal dari kata ‘At-Ta'aawuru yang sama artinya dengan At-Tanaawulu au At-Tanaasubu yang berarti saling menukar dan mengganti dalam konteks tradisi pinjam meminjam.
Secara terminologi syara’, ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefinisikan ‘ariyah, antara lain:
1.Ibnu Rif’ah berpendapat, bahwa yang dimaksud ‘ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya, supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.
2.Menurut pendapat al-Malikiyah, ‘ariyah adalah kepemilikan atas manfaat suatu barang tanpa ada adanya imbalan. Sedangkan menurut Syafi’iyah dan Hambali ‘ariyah adalah pembolehan untuk mengambil manfaat suatu barang tanpa adanya imbalan.
3.Amir Syarifuddin berpendapat, ‘ariyah adalah transaksi atas manfaat suatu barang tanpa imbalan.
Sebagai salah satu bentuk akad atau transaksi ‘ariyah dapat berlaku pada seluruh jenis tingkatan masyarakat. Ia dapat berlaku pada masyarakat tradisional maupun masyarakat modern, dan oleh sebab itu dapat diperkirakan bahwa jenis akad atau transaksi ini sudah sangat tua yaitu sejak manusia yang satu berhubungan dengan yang lainnya.

B.Dasar Hukum ‘Ariyah
Adapun dasar hukum dibolehkannya bahkan disunnahkannya ‘ariyah adalah:
Allah SWT berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحِلُّوْا شَعَآئِرَ اللّٰهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَـرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَٓائِدَ وَلَاۤ آٰمِّيْنَ الْبَيْتَ الْحَـرَامَ يَبْـتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًا    ؕ  وَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا   ؕ  وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَـرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْا  ۘ  وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰى ۖ  وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖ  وَاتَّقُوا اللّٰهَ   ؕ  اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban), dan Qalaid (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya."
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 2)

C.Rukun dan syarat-syarat ‘Ariyah
Adapun rukun ‘ariyah menurut Jumhur ulama ada empar, yaitu:
1.Orang yang meminjamkan atau Mu'ir
2.Orang yang meminjam atau Musta'ir
3.Barang yang dipinjam atau Mu'ar
4.Lafal atau sight pinjaman atau sighat ‘ariyah.
Adapun syarat-syarat ‘ariyah sebagai berikut:
1.Orang yang meminjam itu adalah orang yang telah berakal dan cakap bertindak hukum, karena orang yang tidak berakal tidak dapat dipercayai memegang amanah.
2.Barang yang dipinjam bukan jenis barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau musnah seperti makanan.
3.Barang yang dipinjamkan itu harus secara langsung dapat dikuasai oleh peminjam. Artinya, dalam akad atau transaksi ‘ariyah pihak peminjam haru menerima langsung barang itu dan dapat dimanfaatkan secara langsung pula.
4.Manfaat barang yang dipinjam itu termasuk manfaat yang mubah atau dibolehkan syara’.

D.Pembayaran Pinjaman dan Tanggung jawab Peminjam
Setiap orang yang meminjam sesuatu pada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang. Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk perbuatan aniaya.
Rasulullah saw bersabda:
“Orang kaya yang memperlambat atau melalaikan kewajiban membayar utang adalah zalim atau berbuat aniaya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang. Jika penambahan tersebut dikehendaki oleh orang yang memberi utang atau telah menjadi perjanjian dalam akad perutangan, maka tambahan tersebut tidak halal bagi yang berpiutang untik mengambilnya.
Menurut Hanafiyah akad ‘ariyah yang semula bersifay amanah dapat berubah menjadi akad yang dikanakan ganti rugi, dalam hal-hal sebagai berikut:
a.Apabila barang itu secara sengaja dimusnahkan atau dirusak.
b.Apabila barang itu tidak dipelihara sma sekali.
c.Apabila pemanfaatan barang pinjaman itu tidak sesuai dengan adat yang berlaku, atau tisak sesuai dengan syarat yang disepakati bersama ketika berlangsungnya akad.
d.Apabila pihak peminjam melakukan sesuatu yang berbeda dengan syarat yang ditentuakn sejak semula dalam akad.

E.Tata krama Berutang
Ada beberapa hal yang menjadi penekanan dalam pinjam memunjam atau utang piutang tentang tata krama yang terkait didalamnya, diantaranya sebagai berikut:
1.Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya atau mengembalikannya.
2.Pihak yang berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak yang berutang. Bila yang meminjam belum mampu mengembalikan, pihak yang memberikan utang memberikan waktu penundaan untuk membayarnya. Dan jika yang meminjam betul-betul tidak mampu mengembalikan maka yang memnijamkan hendaknya membebaskannya.
3.Demi terjaganya hubungan baik hendaknya utang piutang diperkuat dengan tulosan dari kedua belah pihak dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau dengan seorang saksi laki-laki dan dua orang saksi wanita.
4.Ketika mengembalikan utang atau pinjaman hendaknya peminjam mengembalikan sesuai dengan kualitas dan kuantitas barang yang dipinjam dan bila mungkin sebagai rasa terimakasih peminjam mengembalikan pinjaman dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik.
5.Pihak yang berutang bila telah mampu membayar utangnya hendaklah mempercepat membayar utangnya sebab sebagaimana dalam hadis, melalaikan dalam membayar pinjaman atau utang, berarti ia telah berbuat zalim kepada pemberi pinjaman atau utang padahal ia telah menolongnya.

F.Syarat Piutang Menjadi Amal Sholih
1. Harta yang diutangkan adalah harta yang jelas dan murni kehalalannya, bukan harta yang haram atau tercampur dengan sesuatu yang haram.
2. Pemberi piutang / pinjaman tidak mengungkit-ungkit atau menyakiti penerima pinjaman baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
3. Pemberi piutang/pinjaman berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas, hanya mengharap pahala dan ridho dari-Nya semata. Tidak ada maksud riya’ (pamer) atau sum’ah (ingin didengar kebaikannya oleh orang lain).
4. Pinjaman tersebut tidak mendatangkan tambahan manfaat atau keuntungan sedikitpun bagi pemberi pinjaman.

G.Pengertian Hiwalah
Secara etimologi hiwalah diambil dari kata tahwil yang berarti intiqal yang artimya pemindahan. Hiwalah adalah memindahkan utang dari tanggungan orang yang berutang atau al-muhil menjadi tanggungan orang yang akan melakukan pembayaran utang atau al-muhal ‘alaih.
Sedangkan secara terminologi, para ulama mendefinisikan hiwalah sebagai berikut:
1.Wahbah al-Juhailo berpendapar, hiwalah adalah pengalihan kewajiban membayar utang dari beban pihak pertama kepada pigak lain yang berutang kepadanya atas dasar slainh mempercayai.
2.Imam Taqiyyudin berpendapat, hiwalah adalah peminahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.
3.Syihabudin al-Qalyubi berpendapat bahwa, hiwalah adalah akad atau transaksi yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang keada yang lainnya.

H.Dasar Hukum Hiwalah
Akad atau transaksi hiwalah ini dibolehkan dalam muamalah. Dasar kebolehannya adalah hadis nabi yang berbunyi sebagai berikut:
“Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah kezaliman. Dan jika slah seorang diantara kamu dihiwalahkan kepada orang kaya yang mampu maka turutlah”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Adapun hikmah dan tujuan dibolehkannya akad hiwalah ini adalah untuk memberikan kemudahan dalam bermuamalah dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan.

I.Rukun dan Syarat-syarat Hiwalah
Ulama Hanafiyah berpendapat, bahwa yang menjadi rukun hiwalah adalah:
1.Ijab atau pernyataan hiwalah dari pihak pertama, muhil
2.Qabul atau pernyataan menerima hiwalah dari pihak kedua, al-Muhal
3.Pihak ketiga, al-Muhal ‘alaih.
Syarat-syarat yang diperlukan pihak pertama (al-muhil) adalah:
1.Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baligh dan berakal.
2.Ada pernyataan persetujuan atau rida. Jika pihak pertama dipaksa untuk melakukan hiwalah maka akad itu tidak sah.
Syarat-syarat yang diperlukan oleh pihak kedua (al-muhal) adalah:
1.Cakap melakukan tundakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak pertama.
2.Ada persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan hiwalah.

Syarat-syarat yang diperlakukan oleh pihak ketiga (al-Muhal ‘alaihi):
1.Baligh dan berakal, sebagaimana pihak pertama dan kedua
2.Adanya pernyataan persetujuan dari pihak ketiga.

Syarat-syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan adalah:
1.Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk uang piutang yang telah pasti.
2.Pembayaran utang itu mesti sama waktu jatuh tempo pembayarannya. Jika terjadi perbedaan tempo pembayaran diantara kedua utang itu, maka hiwalag tidak sah.
3.Utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada pihak kedua mestilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika terjadi perbedaan diantara keduanya maka hiwalah tidak sah.

J.Beban Muhil setelah Hiwalah
Dalam buku Fiqh sunnah, Sayyid Sabiq mengatakan bahwa apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil menjadi gugur. Andai kata muhil ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah adanya hiwalah atau meninggal dunia maka pihak kedua (al-muhal) tidak boleh kembali lagi berurusan dengan pihak pertama (al-muhil) karena memang utangnya telah dihiwalahkan.
Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam keadaan muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang mengutangkannya boleh menagih lagi utangnya kepada pihak pertama. Sedangkan mazhab Maliki berpendapat apabila muhil telah menipu muhal ternyata muhal ‘alaih adalah orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil.
Perlu dikemukakan bahwa akad hiwalah mempunyai jangka waktu berlakunya. Akad hiwalah akan berakhir apabila:
1.Salah satu pihak yang sedang melakukan akad itu membatalkan akad hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap. Dengan adanya pembatalan akad itu pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran utang kepada pihak pertama.
2.Pihak ketiga telah melunasi utang yang dialihkan itu kepada pihak kedua.
3.Pihak kedua menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan utang dalam akad hiwalah itu kepada pihak ketiga.
4.Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk membayar utang yang dialihkan itu.
5.Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua. Dalam hal ini tentu beban utang pihak ketiga tersebut diperhitungkan dalam pembagian warisan.

Macam-macam Hiwalah
1.      Hiwalah Muthlaqoh
Hiwalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain (orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka hiwalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hiwalah ini sebagai kafalah.
2.      Hiwalah Muqoyyadah
Hiwalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah hiwalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hiwalah muqayyadah dan menyariatkan pada hiwalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hiwalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hiwalah tidak sah.
3.      Hiwalah Haq
Hiwalah ini adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai Muhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi jika piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
4.      Hiwalah Dayn
Hiwalah ini adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hiwalah Haq. Pada hakekatnya hiwalah dayn sama pengertiannya dengan hiwalah yang telah diterangkan di depan.
Hiwalah Dayn dan Haqq sesungguhnya sama saja, tergantung dari sisi mana melihatnya. Disebut Hiwalah  Dayn jika kita memandangnya sebagai pengalihan hutang, sedangkan sebutan Haqq, jika kita memandangnya sebagai pengalihan piutang. Berdasarkan definisi ini, maka anjak piutang (factoring) yang terdapat pada praktik perbankan, termasuk ke dalam kelompok Hiwalah Haqq, bukan Hiwalah Dayn.

K.Pengertian Shulhu
Secara bahasa, kata al-Shulhu berarti memutuskan pertengkaran/perselisihan.
Secada istilah syara' ulama mendefinisikan shulhu sebagai berikut:
1.Menurut Taqiy al-Din Abu Bakar Ibnu Muhammad al-Husaini yaitu,
“Akad yang memutuskan perselisihan dua pihak yang bertengkar (berselisih).
2.Hasby Asy-Shiddieqi, shulhu adalah akad uang disepakati oleh dua orang yang bertengkar dalam hak untuk melaksanakan sesuatu, dengan akad itu akan dapat hilang perselisihan.
3.Sayyid Sabiq, shulhu adalah suatu akad untuk mengakhiri perlawanan/perselisihan antara dua orang yang berlawanan.
Sulh adalah perjanjian yang terjadi antara dua orang yang berselisih dengan maksud untuk menghilangkan perselisihan diantara mereka berdua.

L.Dasar Hukum Shulhu

Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa' 4: Ayat 128

وَاِنِ امْرَاَةٌ خَافَتْ مِنْۢ بَعْلِهَا نُشُوْزًا اَوْ اِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَاۤ اَنْ يُّصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا   ؕ  وَالصُّلْحُ خَيْرٌ    ؕ  وَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّ   ؕ  وَاِنْ تُحْسِنُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
"Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian, itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu memperbaiki (pergaulan dengan istrimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh-takacuh), maka sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan."

Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hujurat 49: Ayat 9

وَاِنْ طَآئِفَتٰنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا ۚ  فَاِنْۢ بَغَتْ اِحْدٰٮهُمَا عَلَى الْاُخْرٰى فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتّٰى تَفِيْٓءَ اِلٰٓى اَمْرِ اللّٰهِ  ۚ  فَاِنْ فَآءَتْ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَاَقْسِطُوْا   ؕ  اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
"Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil."

Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa' 4: Ayat 114

لَا خَيْرَ فِيْ كَثِيْرٍ مِّنْ نَّجْوٰٮهُمْ اِلَّا مَنْ اَمَرَ بِصَدَقَةٍ اَوْ مَعْرُوْفٍ اَوْ اِصْلَاحٍۢ بَيْنَ النَّاسِ   ؕ  وَمَن يَّفْعَلْ ذٰ لِكَ ابْتِغَآءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ فَسَوْفَ نُـؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا
"Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barang siapa berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar."

Hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Turmudzi
“Mendamaikan dua muslim (yang berselisih) itu hukumnya boleh kecuali perdamaian yang mengarah kepada upaya mengharamkan yang halal dan mengahalalkan yang haram”.

M.Rukun dan Syarat Shulhu
Rukun Shulhu antara lain:
1.Mushalih yaitu dua belah oihak yang melakukan akad shulhu untuk mengakhiri pertengkaran atau perselisihan.
2.Mushalih anhu yaitu persoalan yang diperselisihkan
3.Mushalih bih yaitu sesuatu yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap lawannya untuk memutuskan perselisihan.
4.Sighat ijab kabul yang masing-masing dilakukan oleh dua pihak yang berdamai.

Syarat-syarat Shulhu antara lain:
1.Syarat yang berhubungan dengan mushalih yaitu disyaratkan mereka adalag orang yang tindakannya dinyatakan sah secara hukum.
2.Syaray yang berhubungan dengan mushalih bih yaitu
•Berbentuk harta yang dapar dinilai, diserah terimakan, dan berguna.
•Diketahui secara jelas sehingga tidak ada kesamaran yang dapat menimbulkan perselisihan.
3.Syarat yang berhubungan dengan mushalih anhu yaitu sesuatu yang diperkirakan termasuk hak manusia yang boleh diiwadkan (diganti). Jika berkaitan dengan hak-hak Allah maka tidak dapat bershulhu.

N.Macam-macam Shulhu
1.Perdamaian antara muslim dan kafir, yaitu membuat perjanjian untuk meletakkan senjata dalam masa tertentu secara bebas atau dengan cara menggati kerugian yang diatur olah UU yang telag disepakati bersama.
2.Perdamaian antara kepala negara dan pemberontak.
3.Perdamaian suami dan istri yaitu membuat perjanjian dan aturan tentang pembagian nafkah, masalah durhaka, serta dalam masalag menyerahkan haknya kepada suaminya manakala terjadi perselisihan.
4.Perdamaian dalam muamalah, yaitu yang berkaitan dengan masalah yang terkait dengan perselisihan yang terjadi dalam masalah muamalah seperti utang piutang.

Dilihat dari cara melakukannya, shulhu dibagi menjadi tiga yaitu:
1.Shulhu dengan ikrar yaitu shulhu yang dicapai melalui ikrar. Contohnya, seorang mendakwa orang lain berutang, kemudian terdakwa mengakui hal tersebut. Lalu kedua berdamai dimana si pendakwa mengambil sesuatu dari si terdakwa.
2.Shulhu dengan ingkar, yiatu perdamaian yang dicapai melalui cara menolak.
3.Shulhu dengan sukut (diam) yaitu perdamaian yang dicapai dengan cara diam.
Dilihat dari keabsahannya shulhu dibagi menjadi dua:
1.Shulhu Ibra yaitu melepaskan sebagian dari apa yang menjadi haknya. Shulhu ibra ini tidak terikat oleh syarat.
2.Shulhu muawadah yaitu berpalingnya seseorang dari haknya kepada orang lain. Hukum yang berlaku pada shulhu ini adalah hukum jual beli.

Hikmah Shulhu
Islam mensyariatkan suluh (perdamaian) adalah untuk menjaga dan memecahkan persoalan-persoalan tersebut sehingga akan terbina hidup rukun, damai, tolong menolong, bahu-membahu dan akan tetap terpelihatanya persatuan dan kesatuan baik antara sesama muslim dengan bukan muslim.


PENUTUP
Kesimpulan
Sebagai salah satu bentuk akad atau transaksi ‘ariyah dapat berlaku pada seluruh jenis tingkatan masyarakat. Ia dapat berlaku pada masyarakat tradisional maupun masyarakat modern, dan oleh sebab itu dapat diperkirakan bahwa jenis akad atau transaksi ini sudah sangat tua yaitu sejak manusia yang satu berhubungan dengan yang lainnya.
Islam mensyariatkan suluh (perdamaian) adalah untuk menjaga dan memecahkan persoalan-persoalan tersebut sehingga akan terbina hidup rukun, damai, tolong menolong, bahu-membahu dan akan tetap terpelihatanya persatuan dan kesatuan baik antara sesama muslim dengan bukan muslim.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Juhaili Wahbah, al-Fiqh al-Islami Wa adilatuhu, Damaskus: Dar al-Fiqr al-Mua’sshim, 2005
M.hammad  Taqiyyudin Abi Bakr, Kifayat al-Akhyar, Bandung: Al-Maarif, tt.
Ghazaly Rahman Abdul , dkk, Fiqh Muamalat, Jakarta: PRENADAMEDIA, 2015
al-Khatib Asy-Syarbaini , Mughni al-Muhtaj, Beirut: Dar Fikr, 1978
http://mugnisulaeman.blogspot.co.id/2013/09/makalah-hiwalah.html?m=1
Al-Jazairi Jabir Abi Bakr, Pedoman Hidup Muslim, Jakarta: Litera AntarNusa, 1996

Jumat, 08 September 2017

Jual beli dan Gadai

MAKALAH FIQIH
TENTANG JUAL BELI
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
NAMA          : RAHMA FITRI ASIH PURBA               
NIM              : 1530100004
SEM/JUR     : KPI/ V(LIMA)

Dosen pengampuh:
Zilfaroni, S.Sos.I.,M.A

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
T.A. 2017/2018

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatu...
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah  ini dengan judul “JUAL BELI DA GADAI”, serta tak lupa pula saya haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi kita Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahilia, dari zaman kebodohan menuju zaman yang sekarang ini yakni zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Makalah ini di persiapkan dan di susun untuk memenuhi tugas kuliah serta menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, di dalam makalah ini saya menyadari bahwa penulisanya masih sangat sederhana dan jauh dari kesempurnaan. Namun, besar harapan saya semoga makalah yang disusun ini bisa bermanfaat. Saya selaku penulis makalah ini dapat terselesaikan atas usaha keras saya dan bantuan rekan-rekan dalam diskusi untuk mengisi kekuranganya.
Dalam pembuatan makalah ini saya sangat menyadari bahwa baik dalam penyampaian maupun penulisan masih banyak kekurangannya untuk itu saran dan kritik dari berbagai pihak sangat saya harapkan untuk penunjang dalam pembuatan makalah saya berikutnya.
Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh...

   Padangsidimpuan, 9 September 2017

     Penulis





DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. ............. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ............. ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
         A. Latar Belakang........................................................................................................ 1
         B. Rumusan Masalah................................................................................................... 1
         C. Tujuan...................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................... 2
A.Pengertian Jual beli................................................................................................ 2
B.Dasar hukum jual beli........................................................................................... 2
C.Rukun dan syarat jual beli.................................................................................... 3
D.Saksi dalam jual beli. ............................................................................................. 5
E.Khiar dalam jual beli................................................................................................5
F.Bentuk-bentuk jual beli.........................................................................................6
G.Persyaratan jual beli. .............................................................................................7
H.Bentuk-bentuk jual beli yang dilarang.................................................................7
I.Berselisih dalam jual beli......................................................................................8
J.Manfaat jual beli. .................................................................................................9
K.Gadai.....................................................................................................................10
BAB III PENUTUP................................................................................................. ........... 13
   A. Kesimpulan................................................................................................. ........... 13
   B. Saran .......................................................................................................... ........... 13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. ........... 15



BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah
Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah ma’annas. Nah, hubungan dengan sesama inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja.Dengan kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar.

B.Rumusan Masalah
1.Jelaskan ruanglingkup dari jual beli!
2.Jelaskan ruanglingkup gadai!

C.Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui ruanglingkup dari jual beli dan gadai.






BAB II
PEMBAHASAN
JUAL BELI & GADAI

A.Pengertian Jual Beli
Secara terminologi fiqh jual beli disebut dengan al-ba'i yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.  Lafal al-ba’i dalam terminologi fiqh terkadang dipakai untuk pengertian lawannya, yaitu al-Syira yang berarti membeli. Dengan demikian, al-ba’i mengandung arti menjual sekaligus membeli atau jual beli. Menurut Hanafiah pengertian jual beli (al-bay) secara definitif yaitu tukar-menukar harta benda atau sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat. Adapun menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, bahwa jual beli (al-ba'i) yaitu tukar menukar harta dengan harta pula dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan. Allah swt.
Allah SWT berfirman:

اِنَّ الَّذِيْنَ يَتْلُوْنَ كِتٰبَ اللّٰهِ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْفَقُوْا مِمَّا رَزَقْنٰهُمْ سِرًّا وَّعَلَانِيَةً يَّرْجُوْنَ تِجَارَةً لَّنْ تَبُوْرَ

"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah (Al-Qur'an) dan melaksanakan sholat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan rugi," (QS. Fatir 35: Ayat 29).
Berdasarkan defenisi diatas, maka pada intinya jual beli itu adalah tukar menukar barang. Hal ini telah dipraktikkan oleh masyarakat primitif ketika uang belum digunakan sebagai alat tukar menukar barang, yaitu dengan sistem barter yang dalam terminologi fiqh disebut dengan ba’i al-muqayyadah. Meskipun jual beli dengan sistem barter telah ditinggalkan, diganti dengan sistem mata uang, tetapi terkadang esensi jual beli seperti itu masih berlaku, sekalipun untuk menentukan jumlah barang yang ditukar tetapi diperhitungkan dengan nilai mata uang tertentu.

B.Dasar Hukum Jual Beli
Terdapat beberapa ayat Al-qur’an dan sunnah Rasulullah saw yang berbicara tentang jual beli, antara lain:
1.Allah SWT berfirman:
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا   ؕ
“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba..." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 275)
2.Surat al-Baqarah ayat 198:
3.Surat an-Nisa ayat 29:

Dasar hukum jual beli berdasarkan sunah Rasululla, antara lain:
1.Hadis yang diriwayatkan oleh Rifa’ah ibn Rafi’:
“Rasulullah saw ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi) apa yang paling baik. Rasulullah menjawab: usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati”. (HR. Al-Bazzar dab Al-Hakim)
Artinya jual beli yang jujur, tanpa diiringi kecurangan-kecurangan, mendapat berkat dari Allah.
2.Hadis dari al-Baihaqi, Ibn Majah dan Ibn Hibban, Rasulullah menyatakan:
“Jual beli itu didasarkan atas suka sama suka”.
3.Hadis yang meriwayatkan al-Tarmizi, Rasulullah saw bersabda:
“pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya disurga) dengan para nabi, shaddiqin, dan syuhada”.

C.Rukun dan Syarat Jual Beli
1.Rukun jual beli antara lain:
1.Akad (ijab kabul)
2.Orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli)
3.Ma’kud alaih (objek akad)
4. Ada nilai tukar barang
Jual beli yang menjadi kebiasaan, misalnya jual beli sesuatu yang menjadi kebutuhan sehari-hari tidak disyaratkan ijab dan kabul, ini adalah pendapat jumhur. Menurut fatwa Ulama Syafi’iyah, jual beli barang-barang yang kecil pun harus ijab dan kabul, tetapi menurut Imam Al-Nawawi dan Ulama Muta’akhirin Syafi’iyah berpendirian bahwa boleh jual beli barang-barang yang kecil dengan tidak ijab dan kabul seperti membeli sebungkus rokok.

2.Syarat sah jual beli:
a)Saling rela antara kedua belah pihak. Kerelaan antara kedua belah pihak untuk melakukan transaksi syarat mutlak keabsahannya.
b)Pelaku akad adalah orang yang dibolehkan melakukan akad, yaitu orang yang telah baligh, berakal, dan mengerti.
c)Harta yang menjadi objek transaksi telah dimiliki sebelumnya oleh kedua pihak.
d)Objek transaksi adalah barang yang dibolehkan agama. Maka tidak boleh menjual barang haram.
e)Objek transaksi adalah barang yang biasa diserahterimakan. Maka tidak sah jual mobil hilang, burung diangkasa karena tidak bisa diserahterimakan.
f)Objek jual beli diketahui oleh kedua pihak saat akad.
g)Harga harus jelas saat transaksi.

3.Syarat-syarat orang yang berakad
Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus memenuhi syarat:
a)Berakal. Oleh sebab itu, jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal dan orang gila hukumnya tidak sah.
b)Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda. Artinya seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus sebagai pembeli.

4.Syarat-syarat yang terkait dengan Ijab Kabul
•Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
•Kabul sesuai dengan ijab
•Ijab dan kabul itu dilakukan dalam satu majelis. Artinya kedua belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang sama.
5.Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan (Ma’qud ‘alaih)
•Barang itu ada, atau tidak ada ditempat tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
•Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
•Milik seseoranh. Barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang tidak boleh diperjualbelikan, seperti ikan di laut, emas dalam tanah.
•Boleh diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.

6.Syarat-syarat Nilai Tukad (Harga barang)
•Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
•Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum seperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian (berutang) maka waktu pembayarannya harus jelas.
•Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang (al-muqayadhah) maka barang yang dijadikan nilai tukar itu bukan brang yanh diharamkan oleh syara.

D.Saksi dalam Jual Beli
Jual beli dianjurkan di hadapan saksi, berdasarkan firman Allah, QS. Al-baqarah:282, “Dan persaksikalah apabila kalian berjual beli”.
Demikian ini karena jual beli yang dilakukan dihadapan saksi dapat menghindarkan terjadinya peraelisihan dan menjauhkan diri dari sikap saling menyangkal. Oleh karena itu, lebih baik dilakukan khususnya bila barang dagangan tersebut mempunyai nilai yang sangat penting (mahal). Bila barang dagangan itu nilainya sedikit, maka tidak dianjurkan mempersaksikannya, menurut Imam Syafi’i, Hanafi, Ishak, dan Ayyub.
Sedangkan menurut Ibnu Qudamah, bahwa mendatangkan saksi xakan jual beli adalah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan diikuti oleh Atha dan Jabir. 

E.Khiar dalam Jual beli
Dalan jual beli, menurut agama Islam dibolehkan memilih, apakah akan meneruskan jual beli atau akan membatalkannya. Oleh karena itu, khiar dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a.Khiar majelis, artinya antara penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya, selama keduanya masih ada dalam satu tempat (majelis), khiar majelis boleh dilakukan dalam berbagai jual beli.
b.Khiar Syarat, yaitu penjualan yang di dalamnya disyaratkan seseuatu baik oleh penjual maupun oleh pembeli, seperti seseorang berkata, “saya jual rumah ini dengan harga Rp.100.000.000,00 dengan syarat khiar selama 3 hari”.
c.Khiar ‘aib, artinya dalam jual beli ini disyaratkan kesempurnaan benda-benda yang dibeli.

F.Bentuk-bentuk Jual Beli
Dari berbagai tinjauan, ba’i dapat dibagi mennjadi beberapa bentuk, yaitu:
1.Ditinjau dari sisi objek akad ba’i dibagi menjadi:
a.Tukar menukar uang dengan barang.
b.Tukar menukar barang dengan barang.
c.Tukar menukar uang dengan uang.
2.Ditinjau dari sisi waktu serah terima, ba'i dibagi menjadi:
a.Barang dan uang serah terima dengan tunai.
b.Uang dibayar dimuka dan barang menyusul pada waktu yang disepakati, dinamakan salam
c.Barang diterima di muka dan uang menyusul, ba'i ajal (jual beli tidak tunai)
d.Barang dan uang tidak tunai, atau ba’i dain bi daun (jual beli utang dengan utang)
3.Ditinjau dari cara menetapkan harga, ba'i terbagi menjadi:
a.Ba’i Musawamah (jual beli dengan tawar menawar), yaitu jual beli dimana pihak penjual tidak menyebutkan harga pokok barang, akan tetapi menetapkan harga tertentu dan membuka peluang untuk ditawar.
b.Ba’i amanah, yaitu jual beli dimana pihak penjual menyebutkan harga pokok barang, lalu menyebutkan harga jual barang.
•Ba’i Murabahah, yaitu pihak penjual menyebutkan harga pokok barang dan laba.
•Ba’i al-Wadh’iyyah, yaitu pihak penjual menyebutkan harga pokok barang atau menjual barang tersebut di bawah harga pokok.
•Ba’i Tauliyah, yaitu penjual menyebutkan harga pokok dan menjualnya dengan harga tersebut
.
G.Persyaratan dalam Jual beli
Berbeda antara syarat jual beli dan persyaratan jual beli. Syarat sah jual beli itu ditentukan oleh agama, sedangkan memberikan persyaratan dalam jual beli ditetapkan oleh salah satu pihak pelaku transaksi. Hukum asal memberikan persyaratan dalam jual beli adalah sah dan mengikat, maka dibolehkan bagi kedua belah pihak menambahkan persyaratan dari akad awal. Hal ini berdasarkan kepada firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu”. (QS. Al-Maidah: 5). Dan Hadis Rasulullah SAW: “Diriwayatkan dari Amru bin Auf bahwa Rasulullah Saw bersabda, “orang Islam itu terikat dengan persyaratan (yang mereka buat) selagi syarat itu tidak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram”.
Adapun persyaratan yang dibenarkan agama, misalnya:
1.Persyaratan yang sesuai dengan tuntuan akad.
2.Persyaratan tausiqiyah, yaitu penjual mensyaratkan pembeli mengajukan dhamin (penjamin)  atau barang agunan.
3.Persyaratan washfiyah, yaitu pembeli mengajukan persyaratan kriteria tertentu pada barang atau cara tertentu pada pembayaran.
4.Persyaratan manfaat pada barang.
5.Persyaratan taqyidiyyah, yaitu salah satu pihak mensyaratkan hal yang bertentangan dengan kewenangan kepemilikan.
6.Persyaratan fi akad, yaitu menggabungkan dua akad dalam satu akad.
7.Syaray jaza'i (persyaratan denda), yaitu persyaratan yang terdapat dalam suatu akad mengenai pengenaan denda apabila ketentuan akad tidak terpenuhin
8.Syarat takliqiyyah

H.Bentuk-bentuk Jual Beli yang Dilarang
1.Jual beli yang dilarang dan hukumnya tidak sah, yaitu jual beli yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya. Jual beli ini antara lain:
a.Jual beli barang yang zatnya haram, najis, atau tidak boleh diperjualbelikan.
b.Jual beli yang belum jelas.
•Jual beli buah-buahan yang belum tampak hasilnya.
•Jual beli barang yang belum tampak.
c.Jual beli bersyarat.
d.Jual beli yang menimbulkan kemudaratan.
e.Jual beli yang dilarang karena dianiaya
f.Jual beli muhaqalah, yaitu menjual tanam-tanaman yang masih di ladang atau di sawah .
g.Jual beli mukhadharah, yaitu menjual buah-buahan yanh masih hijau (belum pantas dipanen).
h.Jual beli mulamasah, yaitu jual beli secara sentuh menyentuh.
i.Jual beli munabadzah yaitu jual beli secara lempar melempar
j.Jual beli muzabanah yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang kering.
2.Jual beli terlarang karena ada faktor lain yang merugikan pihak-pihak terkait.
a.Jual beli dari orang yang masih dalam tawar menawar.
b.Jual beli dengan menghadang dagangan di luad kota/pasar.
c.Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual ketika harga naik karena kelangkaan barang tersebut.
d.Jual beli barang rampasan atau curian.

I.Berselisih dalam Jual Beli
Penjual dan pembeli dalam melakukan jual beli hendaknya berlaku jujur, terus terang dan mengatakan yang sebenarnya, maka jangan bersusta dan jangan bersumoah dusta, sebab sumpah dan dusta menghilangkan berkah jual beli. Rasulullah saw bersabda:
“Bersumpah dapat mempercepat lakunya dagangan, tetapi dapat menghilangkan berkah”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Bila antara penjual dan pembeli berselisih pendapat dalam suatu benda yang diperjualbelikan, maka yang dibenarkan ialah kata-kata yang punya barang, bila antara keduanya tidak ada saksi dan bukti lainnya. Rasulullah saw bersabda:
“Bila penjual dan pembeli berselisih dan antara keduanya tidak ada saksi, maka yang dibenarkan adalah perkataan yang punya barang atau dibatalkan”. (HR. Abu Dawud).

J.Manfaat dan Hikmah Jual Beli
1.Manfaat jual beli
Manfaat jual beli antara lain:
a.Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.
b.Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan atau suka sama suka.
c.Masing-masing pihak puas.
d.Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki yang haram (batil)
e.Penjual dan pembeli mendapat rahmat dari Allah swt.
f.Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.

2.Hikmah Jual beli
Allah swt mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keluangan dan keleluasaan kepada hamba-hambanya, karena semua manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan seperti ini tak pernah putus selama manusia masih hidup. Tak seorangpun dapat memenuhi hajat hidupnya sendiri, karena itu manusia dituntut berhubungan satu sama lainnya. Dalam hubungan ini tak ada satu hal pun yang lebih sempurna daripada saling tukar, dimana seseorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian dia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.

K.Badan perantara
Badan perantara dalam jual beli disebut simsar, yaitu seseorang yang menjualkan barang orang lain atas dasar bahwa seseorang itu akan diberi upah oleh yang punya barang seseuai usahanya. Orang yang menjadi simsar dinamakan pula komisioner, makelar, atau agen, tergantung persyaratan-persyaratan atau ketentuan-ketentuan Hukum Dagang yang berlaku dewasa ini. Berdagang secara simsar dibolehkan berdasarkan agama asal dalam pelaksanaannya tidak terjadi penipuan dari yang satu terhadap yang lainnya.
L.Penjual Tanah
Menurut Syafi’i, boleh menjual tanah yang sedang ditanami, seseorang menjual sebidang tanah di dalamnya ada benih dan tanamannya. Kalau menjual tanah itu tidak dipisahkan dari penjualan benih dan tanaman itu, penjualan itu batal sebab tidak jelas, apakah hanya tanah saja atau tanah dengan tanaman dan biji-bijiannya. Yang termasuk dalam penjualan sebidang tanah adalah:
1.Batu yang ada di dalamnya
2.Barang-barang yang terpendam di dalamnya, seperti simpanan barang-barang berharga.
Dalam penjualan sebidang kebun, yang termasuk di dalamnya ialah:
1.Pohon-pohonannya.
2.Bangunan-bangunan yang ada di dalamnya, kecuali barang-barang yang dikecualikan dalam akad dan disepakati dua belah pihak.
3.Pekarangan yang melingkari.
4.Tanahnya.

Bila menjual rumah, yang termasuk di dalamnya ialah:
•Tanah tempat mendirikan
•Apa yang ada dalam pekarangannya.
Bila seseorang menjual seekor hewan, yang termasuk didalamnya ialah:
1.Sendal/sepatunya
2.Pelananya.

M.Buah-buahan yang Rusak setelah Dijual
Buah-buahan yang sudah dijual kemudian rusak atau hilang dan yang lain-lainnya, maka kerusakan itu tanggungan penjual, bukan tanggungan pembeli. Rasulullah saw bersabda:
“Jika engkau telah menjual buah-buahan kepada saudaramu, lalu buahan itu rusak (busuk), maka haram bagimu mengambil sesuatu darinya, apakah kamu mau mengambil harta saudaramu dengan tidak hak”. (HR. Muslim)

N.Gadai
1.Pengertian Gadai
Menurut bahasa, gadai (al-rahn) berarti Atsubuutu wa Dawamu artinya tetap dan kekal, atau al-Habsu wa Luzumu artinya pengekangan dan keharusan dan juga bisa berarti jaminan. 
Menurut istilah syara', yang dimaksud rahn ialah:
•Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya. 
•Gadai adalah akad perjanjian pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang. 
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa al-rahn adalah menjadikan barang berharga sebagai jaminan utang.

2.Dasar Hukum Gadai
Allah swt berfirman dalam Q.s. Al-baqarah: 283
Apabila kamu dalam perjalanan dan tidak ada orang yang menuliskan utang, maka hendaklah dengan rungguhan yang diterima ketika itu.

Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a ia berkata:
“Rasulullah zaw meungguhkan baju besi kepada seoang Yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang Yahudi”.

Dari hadis diatas dapat dipahami bahwa agama Islam tidak membeda-bedakan antara orang Muslim dan nonMuslim dalam bidang muamalah, maka seorang muslim tetap wajib membayar utangnya sekalipun kepada orang non Muslim.

3.Rukun dan Syarat Gadai
a.Rukun Gadai antara lain:
•Orang yang berakad
•Akad iajb kabul
•Barang yang dijadikan jaminan
•Ada utang.
b.Syarat gadai, antara lain:
•Syarat yang terkait dengan orang berakad adalah cakap bertindak hukum.
•Syarat terkait dengan utang: merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada yang memberi utang, utang itu boleh dilunasi dengan jaminan, utang itu jelas dan tertentu.
Jadi para ulama sepakat bahwa gadai itu dianggap sempurna apabila barang yang digadaikan itu secara hukim telah berada ditangan pemberi utang, dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam uang.

4.Pemanfaatan Barang Gadai
Dalam pengambilan pemanfaatan barang-barang yang digadaikan, para ulama berbeda pendapat, diantaranya:
a.Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil sesuatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
b.Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaiian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya selam kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya.

5.Resiko Kerusakan barang Gadaian
Bila marhun hilang dibawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian murtahin atau karena disia-siakan, umpamanya murtahin bermain-main dengan api, lalu terbakar barang gadaian itu, atau gudang tak dikunci, lalu barang-barang itu hilang dicuri orang. Murtahin diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya, bila tidak demikian, ketika ada cacat atau kerusakan apalagi hilang, menjadi tanggung jawab murtahin.

6.Riba dan Gadai
Perjanjian pada gadai pada dasarnya adalah akad atau transaksi utang piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya. Hal yang memungkinkan pada gadai mengandung unsur riba, yaitu:
a.Apabila dalam akad gadai tersebut ditentukan bahwa rahin atau penggadai harus memberikan tambahan kepada murtahin ketika membayar utangnya.
b.Apabila akad gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan.
c.Apabila rahin tidak mampu membayar utangnya hngga pada waktu yang telah ditentukan, kemudian murtahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan harga marhun kepada rahin. Padahal utang rahin labih kecil nilainya dari marhun.

O. Hukum Menjual Rokok
            Sebagaimana diketahui bahwa syarat sahnya satu akad jual beli jika barang yang dijual bermanfaat yang menjadi tujuan secara syar’i.
Disebutkan dalam Hasyiyah Ar-Rasyidi : “yang benar dalam masalah ini bahwa rokok membawa manfaat dari segi fungsi utamanya yaitu untuk diisap dan ini termasuk yang mubah karena tidak ada dalil yang mengatakan haram, maka mengambilnya sama dengan pemanfaatan terhadap sesuatu yang mubah.
            Pendapat yang benar dalah seperti yang disebutkan oleh Syaikh Al-Bajuri dalam Hasyiyah-nya, Bahwa Allah Berfirman :

وَ لَاتُسْرِ فُواْ إِ نٌهُ لَا تُحِبٌ اَلْمُسْرِ فِينَ
Dan janganlah berlebih-lebihan.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS.Al-A’raf (7):31
Hukum Menjual Alat Musik
            Ulama berbeda pendapat tentang hukum menjual alat musik, apakah boleh atau tidak terdiri dari dua pendapat:
1.      Boleh menjualnya dan ini pendapat yang sesat.
2.      Walaupun dikatakan boleh tetapi manfaatnya dalah haram hanya penulis perlu dilihat sesuatu yang lain yang menjadi sandaran halal atau tidaknya barang ini yaitu bentuk alat itu sendiri, jika tidak bisa dikatakan sebagai harta setelah dihancurkan, maka tidak boleh menjualnya karena tidak ada manfaat secara syar’i.
Adapun jika setelah dihancurkan masih bernilai harta, untuk menjualnya dan menjual patung, dan gambar-gambar yang terbuat dari emas dan perak dan yang lainya terdiri dari tiga pendapat.:
1.      Akad batal. Ini adalah pendapat yang paling kuat dan merupakan pendapat kebanyakan ulama.
2.      Akad tetap sah.
3.      Pendapat Al-Qadhi Husaun dalam kitab Ta’liq-nya dan Al-Mutawalli, Imam Al-Haramain dan Al-Ghazali.

PENUTUP

KESIMPULAN
•intinya jual beli itu adalah tukar menukar barang. Hal ini telah dipraktikkan oleh masyarakat primitif ketika uang belum digunakan sebagai alat tukar menukar barang, yaitu dengan sistem barter yang dalam terminologi fiqh disebut dengan ba’i al-muqayyadah.
•Rukun dan Syarat Jual Beli
1.Akad (ijab kabul)
2.Orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli)
3. Ma’kud alaih (objek akad)
•Gadai adalah akad perjanjian pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.
•Rukun Gadai
1.Orang yang berakad
2.Akad iajb kabul
3.Barang yang dijadikan jaminan
4.Ada utang
•Riba dan Gadai
Perjanjian pada gadai pada dasarnya adalah akad atau transaksi utang piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya. Hal yang memungkinkan pada gadai mengandung unsur riba, yaitu:
1.Apabila dalam akad gadai tersebut ditentukan bahwa rahin atau penggadai harus memberikan tambahan kepada murtahin ketika membayar utangnya.
2.Apabila akad gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan.
3.Apabila rahin tidak mampu membayar utangnya hngga pada waktu yang telah ditentukan, kemudian murtahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan harga marhun kepada rahin. Padahal utang rahin labih kecil nilainya dari marhun.

DAFTAR PUSTAKA
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana, 2012.
Ghazaly rahman abdul , dkk, Fiqh Muamalah, Jakarta: Prenadamedia Group, 2010.
Suhendi Hendii, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Qudamah Ibnu,, Al-Mughni, Beiirut: Dar el Fikr
Al-Juhaili wahbah, al-Fiqh al-Islami Wa adilatuhu, Damaskus: Dar al-Fiqr al-Mua’sshim, 2005.
Ash-Shiddieqy hasbi, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Zuhdi masyfuk, Masail F’qihiyah, Jakarta: Haji Masagung, 1988.
http://listi123.blogspot.co.id/2016/06/makalah-fiqih-muamalah-jual-beli.html?m=1
http://listi123.blogspot.co.id/2016/06/makalah-fiqih-muamalah-jual-beli.html?m=1

Pengambilan keputusan

MAKALAH MANAJEMEN
TENTANG PENGAMBILAN KEPUTUSAN
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
NAMA          : RAHMA FITRI ASIH PURBA               
NIM              : 1530100004
SEM/JUR     : KPI/ V(LIMA)

Dosen pengampuh:
Hasbi Ansori Hasibuan, M.M

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
T.A. 2017/2018

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatu...
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah  ini dengan judul “Pengambilan Keputusan",serta tak lupa pula saya haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi kita Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahilia, dari zaman kebodohan menuju zaman yang sekarang ini yakni zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Makalah ini di persiapkan dan di susun untuk memenuhi tugas kuliah serta menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, di dalam makalah ini saya menyadari bahwa penulisanya masih sangat sederhana dan jauh dari kesempurnaan. Namun, besar harapan saya semoga makalah yang disusun ini bisa bermanfaat. Saya selaku penulis makalah ini dapat terselesaikan atas usaha keras saya dan bantuan rekan-rekan dalam diskusi untuk mengisi kekuranganya.
Dalam pembuatan makalah ini saya sangat menyadari bahwa baik dalam penyampaian maupun penulisan masih banyak kekurangannya untuk itu saran dan kritik dari berbagai pihak sangat saya harapkan untuk penunjang dalam pembuatan makalah saya berikutnya.
Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh...

   Padangsidimpuan, 8 Septrmber 2017

     Penulis





DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. ............. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ............. ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
         A. Latar Belakang........................................................................................................ 1
         B. Rumusan Masalah................................................................................................... 2
         C. Tujuan...................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................... 4
        A. Pengertian Pengambilan Keputusan........................................................................ 4
        B. Model pengambilan keputusan............................................................................... 4
        C. Metode keputusan.................................................................................................. 6
        D Keputusan di putuskan sendiri.................................................................................. 7
        E. Penyelesaian Masalah..............................................................................................7
         F. Jenis masalah dan keputusan................................................................................8
BAB III PENUTUP................................................................................................. ........... 9
   A. Kesimpulan................................................................................................. ........... 9
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. ........... 10









BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah
Memilih adalah suatu keputusan. Pengambilan keputusan sering kita lakukan dalam keseharian, tetapi terkadang tidak kita sadari. Banyak keputusan yang harus diambil setiap hari, tetapi kadang-kadang satu hari hanya satu keputusan yang kita buat, tergantung keperluannya. Membuat keputusan dan penyelesaian masalah merupakan salah satu peranan yang harus dimainkan setiap leader dan manajer. Semua fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan memerlukan keputusan. Pengambilan keputusan merupakan peranan manajer di samping peranan interpersonal dan informasional.
Kualitas suatu keputusan merupakan cermin dari daya poikir manajer. Oleh karena itu, berpikir dalam hubungannya dengan mengambil keputusan dan memecahkan masalah harus diusahakan agar tidak tersesat kejalan yang tidak efektif dan efisien.

B.Rumusan Masalah
1.Apa yang dimaksud dengan pengambilan keputusan?
2.Bagaimana model pengambilan keputusan?
3.Bagaimana metode keputusan?
4.Bagaimana penyelesaian masalah dalam pengambilan keputusan?

C.Tujuan penulisan makalah
Untuk mengetahui bagaimana metode seorang manajer dalam pengambilan keputusan dan penyelesaian suatu masalah.








BAB II
PEMBAHASAN

A.Defenisi Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan adalah proses memilih sejumlah alternatif. Pengambilan keputusan penting bagi manajer administrator karena proses pengambilan keputusan mempunyai peran penting dalam memotivasi, kepemimpinan, komunikasi, koordinasi, dan perubahan organisasi.

B.Model pengambilan keputusan
1.Model Mintzberg, Drucker, dan Simon
a.Mintzberg memberikan tiga tahap dalam proses pengambilan keputusan, yaitu tahap identifikasi (pengambil keputusan memahami masalah dan peluang membuat diagnosis), tahap pengembangan (pengambil keputusan mencari standar prosedur yang tersedia atau pemecahan masalah sebagai desain baru), dan tahap pemilihan (pengambil keputusan dapat memilih dengan menggunakan pertimbangan, analisis logis, basis sistematis, atau bargain.
b.Drucker, seorang ahli pemimpin organisasi memberikan enam langkah dalam proses pengambilan keputusan, yaitu mendefenisikan masalah, menganalisis masalah, mengembangkan alternatif pemecahan masalah, memutuskan satu pemecahan masalah terbaik, merencanakan tindakan yang efektif, dan memantau dan menilai hasilnya.
c.Simon, membagi proses pengambilan keputusan atas 3 tahap, yaitu kegiatan inteligen, kegiatan desain, dan kegiatan pemilihan.
Berdasarkan ketiga pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa proses pengambilan keputusan meliputi tiga kegiatan, yaitu:
1.Kegiatan yang menyangkut pengenalan, penentuan, dan diagnosis maslah.
2.Kegiatan yang menyangkut pengembangan alternatif pemecahan masalah.
3.Kegiatan yang menyangkut evaluasi dan memilih pemecahan masalah terbaik.

2.Model Pengambilan Keputusan Rasional
Keputusan dapat dibedakan atas 2 tipe, yaitu terprogram dan tidak terprogram. Keputusan terprogram adalah keputusan yang selalu diulang kembali, dan keputusan tidak terprogram adalah keputusan yang diambil untuk mengahadapi situasi rumit dan baru. Proses pengambilan keputusan dalam model ini yaitu mengamati situasi, mengikuti pedoman pemecahan masalah, mengikuti aturan yang berlaku, mengambil keputusan, melihat dampak dari keputusan.

3.Model pengambilan keputusan klasik
Model ini berasumsi bahwa keputusan merupakan proses rasional ketika keputusan diambil dari salah satu alternatif terbaik. Langkah-langkah pengambilan keputusannya yaitu:
a.Identikasi masalah
b.Menentukan alternatif
c.Menilai alternatif
d.Memilih alternatif
e.Menerapkan alternatif
f.Menilai keputusan.

4.Model pengbilan keputusan perilaku
Model ini di dasarkan pada seberapa jauh keputusan itu dapat memberikan kepuasan. Model ini juga mempertimbangkan pengambilan keputusan atas dasar rasionalitas kontekstual dan rasionalitas respektif.

5.Model pemgambilan keputusan berdasarkan manfaat
a.Mutu keputusan, pengetahuan dan informasi kelompok melebihi individu. Kelompok dapat mengatasi atau menutupi kelemahan dan kekurangan individu.
b.Kreativitas keputusan, kreativitas kelompok lebih banyak dan cenderung labih baik daripada kreativitas individu.
c.Penrimaan keputusan, pembuatan keputusan secara partisipasi kelompok lebih besar manfaatmya dibandingkan dengan keputusan yang dibuat secara individu.
d.Pemahaman keputusan, kelompok akan lebih memahami keputusan yang dibuat oleh individual.
e.Pertimbangan keputusan, kelompok akan lebih efektif dalam menetukan pilihan terbaik dibandingkan dengan pilihan individu.
f.Ketepatan keputusan, kelompok lebih tepat dalam memutuskan daripada individu.

C.Metode keputusan
Pengamatan proses pengambilan keputusan dalam kelompok diarahkan pada cara atau metode dalam pengambilan keputusan. Adapun metodenya anara lain:
1.Keputusan yang kurang tanggapan
Metode ini banyak digunakan dan sekaligus meruoakan metode yang biasanya kurang diperhatikan.
2.Keputusan dengan otoritas
Suatu metode yang efisien jika pimpinan sidang atau rapat mendengarkan secara seksama gagasan anggotanya.
3.Keputusan minoritas
Keputusan yang terjadi jika satu atau dua anggota kelompok dapat mengatasi anggota kelompok lainnya.
4.Keputusan Mayoritas
Yaitu metode pengambilan keputusan yang paling banyak dikenal orang di negara yang menerapkan sistem demokrasi. Keputusan diadakan dengan cara pemungutan suara. Suara terbanyak adalah pemenangnya.
5.Keputusan konsensus
Yaitu metode yang banyak menyita waktu karena memberikan keswmpatan kepada semua anggota kelompok untuk berkonsensus. Keputusannya tidak selalu bulat karena memungkinkan ada sebagian kecil anggota kelompok yang tidak setuju.
6.Keputusan bulat
Keputusan ini terjadi apabila semua anggota kelompok telah menyetujui keputusan yang akan diambil.
D.Keputusan diputuskan Sendiri
Adakalanya administrator harus memutuskan sendiri keputusan, dengan mempertimbangkan hal-hal berikut:
1.Apabila administrator tidak dapat membagi tanggung jawabnya kepada orang lain atau kelompok, maka ia bertanggung jawab penuh atas keputusannya.
2.Apabila waktu sangat mendesak dan diperlukan tindakan segera.
3.Apabila sudah ada kesepakatan tentang prosedur kerja dan bawahannya.
4.Apabila dilakukan spontan karena sudah pernah mengatasi kasus yang hampir sama.

E.Penyelasaian Masalah
Penyelesaian masalah adalah suatu proses pengamatan dan pengenalan, serta usaha mengurangi perbedaan antara keadaan sekarang dengan keadaan yang akan datang yang diharapkan. Penyelesaian masalah mengusahakan pendekatan antara jurang pemisah kesenjangan yang ada. Proses penyelesaian masalah secara umum yaitu:
1.Selidiki situasi masalah
•Tentukan masalah
•Kenali tujuan keputusan
•Diagnosis penyebabnya.
2.Kembangkan alternatif
•Cari alternatif kreatif
•Jangan dahulu mengevaluasi
3.Evaluasi alternatif dan pilih yang terbaik
•Evaluasi alternatif
•Pilih alternatif terbaik
4.Lakukan keputusan dan tindak lanjuti
•Rencana pelaksanaan
•Lakukan rencana
•Monitor pelaksanaan dan adakan penyesuaian.

F.Jenis Masalah dan Keputusan
1.Masalah yang terstruktur dan keputusan yang terprogram.
Masalah yang terstruktur misalnya pelanggang yang ingin mengembalikan barang yang sudah dibeli ditoko pengecer tertentu, pemasok yang terlambat mengirimkan barang yang penting, atau perguruan tinggi yang menangani mahasiswa yang ingin membatalkan mata kuliah. Situasi-situasi itu disebut masalah yang terstruktur dengan baik karena masalah itu lugas, sudah dikenal, dan dapat didefinisikan dengan mudah. Sedangkan keputusan yang teprogram misalnya seorang pelayan restoran menumpahkan minuman kebaju pelanggan. Manajer restoran itu menhadapi pelanggan yang marah sehingga manajer itu perlu melakukan sesuatu. Karena minuman sering tumpah, mungkin ada prosedur baku untuk menangani masalah tersebut. Dalam menangani situasi masalah itu, sang manajer menggunakan keputusan yang terprogram.
2.Masalah yang tak tersusun dan keputusan yang tak terprogram.
Apabila manajer mengahadapi masalah yang buruk strukturnya, atau masalah yang unik, maka tidak ada soslusi yang tegas dan pasti.
3.Integrasi

G.Kondisi Pengambilan Keputusan
1.Kepastian
Situasi yang memungkinkan manajer mampu mengambil keputusan yang tepat karena hasil dari setiap alternatif telah diketahui.
2.Risiko
Yaitu kondisi di mana pengambil keputusan mampu memperkirakan kemungkinan alternatif-alternatif tertentu atau hasil-hasil tertentu
3.Ketidakpastian
Yaitu situasi yang dialami seorang pengambil keputusan saat ia tidak yakin dengan keputusannya.




PENUTUP

KESIMPULAN
•Pengambilan keputusan adalah proses memilih sejumlah alternatif. Pengambilan keputusan penting bagi manajer administrator karena proses pengambilan keputusan mempunyai peran penting dalam memotivasi, kepemimpinan, komunikasi, koordinasi, dan perubahan organisasi.
•Metode keputusan
1.Keputusan yang kurang tanggapan
2.Keputusan dengan otoritas
3.Keputusan minoritas
4.Keputusan Mayoritas
5.Keputusan konsensus
6.Keputusan bulat















DAFTAR PUSTAKA
Usman Husaini,, Manajemen: teori, praktik, dan riset pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2014.
Robbin P Stepen , Mary Coulter, Manajemen, Indonesia: Mancana Jaya Cemerlang

Copyright @ 2013 Tulisanku.