Jumat, 08 September 2017

Filled Under:

Jual beli dan Gadai

MAKALAH FIQIH
TENTANG JUAL BELI
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
NAMA          : RAHMA FITRI ASIH PURBA               
NIM              : 1530100004
SEM/JUR     : KPI/ V(LIMA)

Dosen pengampuh:
Zilfaroni, S.Sos.I.,M.A

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
T.A. 2017/2018

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatu...
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah  ini dengan judul “JUAL BELI DA GADAI”, serta tak lupa pula saya haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi kita Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahilia, dari zaman kebodohan menuju zaman yang sekarang ini yakni zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Makalah ini di persiapkan dan di susun untuk memenuhi tugas kuliah serta menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, di dalam makalah ini saya menyadari bahwa penulisanya masih sangat sederhana dan jauh dari kesempurnaan. Namun, besar harapan saya semoga makalah yang disusun ini bisa bermanfaat. Saya selaku penulis makalah ini dapat terselesaikan atas usaha keras saya dan bantuan rekan-rekan dalam diskusi untuk mengisi kekuranganya.
Dalam pembuatan makalah ini saya sangat menyadari bahwa baik dalam penyampaian maupun penulisan masih banyak kekurangannya untuk itu saran dan kritik dari berbagai pihak sangat saya harapkan untuk penunjang dalam pembuatan makalah saya berikutnya.
Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh...

   Padangsidimpuan, 9 September 2017

     Penulis





DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. ............. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ............. ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
         A. Latar Belakang........................................................................................................ 1
         B. Rumusan Masalah................................................................................................... 1
         C. Tujuan...................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................... 2
A.Pengertian Jual beli................................................................................................ 2
B.Dasar hukum jual beli........................................................................................... 2
C.Rukun dan syarat jual beli.................................................................................... 3
D.Saksi dalam jual beli. ............................................................................................. 5
E.Khiar dalam jual beli................................................................................................5
F.Bentuk-bentuk jual beli.........................................................................................6
G.Persyaratan jual beli. .............................................................................................7
H.Bentuk-bentuk jual beli yang dilarang.................................................................7
I.Berselisih dalam jual beli......................................................................................8
J.Manfaat jual beli. .................................................................................................9
K.Gadai.....................................................................................................................10
BAB III PENUTUP................................................................................................. ........... 13
   A. Kesimpulan................................................................................................. ........... 13
   B. Saran .......................................................................................................... ........... 13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. ........... 15



BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah
Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah ma’annas. Nah, hubungan dengan sesama inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja.Dengan kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar.

B.Rumusan Masalah
1.Jelaskan ruanglingkup dari jual beli!
2.Jelaskan ruanglingkup gadai!

C.Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui ruanglingkup dari jual beli dan gadai.






BAB II
PEMBAHASAN
JUAL BELI & GADAI

A.Pengertian Jual Beli
Secara terminologi fiqh jual beli disebut dengan al-ba'i yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.  Lafal al-ba’i dalam terminologi fiqh terkadang dipakai untuk pengertian lawannya, yaitu al-Syira yang berarti membeli. Dengan demikian, al-ba’i mengandung arti menjual sekaligus membeli atau jual beli. Menurut Hanafiah pengertian jual beli (al-bay) secara definitif yaitu tukar-menukar harta benda atau sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat. Adapun menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, bahwa jual beli (al-ba'i) yaitu tukar menukar harta dengan harta pula dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan. Allah swt.
Allah SWT berfirman:

اِنَّ الَّذِيْنَ يَتْلُوْنَ كِتٰبَ اللّٰهِ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْفَقُوْا مِمَّا رَزَقْنٰهُمْ سِرًّا وَّعَلَانِيَةً يَّرْجُوْنَ تِجَارَةً لَّنْ تَبُوْرَ

"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah (Al-Qur'an) dan melaksanakan sholat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan rugi," (QS. Fatir 35: Ayat 29).
Berdasarkan defenisi diatas, maka pada intinya jual beli itu adalah tukar menukar barang. Hal ini telah dipraktikkan oleh masyarakat primitif ketika uang belum digunakan sebagai alat tukar menukar barang, yaitu dengan sistem barter yang dalam terminologi fiqh disebut dengan ba’i al-muqayyadah. Meskipun jual beli dengan sistem barter telah ditinggalkan, diganti dengan sistem mata uang, tetapi terkadang esensi jual beli seperti itu masih berlaku, sekalipun untuk menentukan jumlah barang yang ditukar tetapi diperhitungkan dengan nilai mata uang tertentu.

B.Dasar Hukum Jual Beli
Terdapat beberapa ayat Al-qur’an dan sunnah Rasulullah saw yang berbicara tentang jual beli, antara lain:
1.Allah SWT berfirman:
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا   ؕ
“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba..." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 275)
2.Surat al-Baqarah ayat 198:
3.Surat an-Nisa ayat 29:

Dasar hukum jual beli berdasarkan sunah Rasululla, antara lain:
1.Hadis yang diriwayatkan oleh Rifa’ah ibn Rafi’:
“Rasulullah saw ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi) apa yang paling baik. Rasulullah menjawab: usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati”. (HR. Al-Bazzar dab Al-Hakim)
Artinya jual beli yang jujur, tanpa diiringi kecurangan-kecurangan, mendapat berkat dari Allah.
2.Hadis dari al-Baihaqi, Ibn Majah dan Ibn Hibban, Rasulullah menyatakan:
“Jual beli itu didasarkan atas suka sama suka”.
3.Hadis yang meriwayatkan al-Tarmizi, Rasulullah saw bersabda:
“pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya disurga) dengan para nabi, shaddiqin, dan syuhada”.

C.Rukun dan Syarat Jual Beli
1.Rukun jual beli antara lain:
1.Akad (ijab kabul)
2.Orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli)
3.Ma’kud alaih (objek akad)
4. Ada nilai tukar barang
Jual beli yang menjadi kebiasaan, misalnya jual beli sesuatu yang menjadi kebutuhan sehari-hari tidak disyaratkan ijab dan kabul, ini adalah pendapat jumhur. Menurut fatwa Ulama Syafi’iyah, jual beli barang-barang yang kecil pun harus ijab dan kabul, tetapi menurut Imam Al-Nawawi dan Ulama Muta’akhirin Syafi’iyah berpendirian bahwa boleh jual beli barang-barang yang kecil dengan tidak ijab dan kabul seperti membeli sebungkus rokok.

2.Syarat sah jual beli:
a)Saling rela antara kedua belah pihak. Kerelaan antara kedua belah pihak untuk melakukan transaksi syarat mutlak keabsahannya.
b)Pelaku akad adalah orang yang dibolehkan melakukan akad, yaitu orang yang telah baligh, berakal, dan mengerti.
c)Harta yang menjadi objek transaksi telah dimiliki sebelumnya oleh kedua pihak.
d)Objek transaksi adalah barang yang dibolehkan agama. Maka tidak boleh menjual barang haram.
e)Objek transaksi adalah barang yang biasa diserahterimakan. Maka tidak sah jual mobil hilang, burung diangkasa karena tidak bisa diserahterimakan.
f)Objek jual beli diketahui oleh kedua pihak saat akad.
g)Harga harus jelas saat transaksi.

3.Syarat-syarat orang yang berakad
Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus memenuhi syarat:
a)Berakal. Oleh sebab itu, jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal dan orang gila hukumnya tidak sah.
b)Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda. Artinya seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus sebagai pembeli.

4.Syarat-syarat yang terkait dengan Ijab Kabul
•Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
•Kabul sesuai dengan ijab
•Ijab dan kabul itu dilakukan dalam satu majelis. Artinya kedua belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang sama.
5.Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan (Ma’qud ‘alaih)
•Barang itu ada, atau tidak ada ditempat tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
•Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
•Milik seseoranh. Barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang tidak boleh diperjualbelikan, seperti ikan di laut, emas dalam tanah.
•Boleh diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.

6.Syarat-syarat Nilai Tukad (Harga barang)
•Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
•Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum seperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian (berutang) maka waktu pembayarannya harus jelas.
•Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang (al-muqayadhah) maka barang yang dijadikan nilai tukar itu bukan brang yanh diharamkan oleh syara.

D.Saksi dalam Jual Beli
Jual beli dianjurkan di hadapan saksi, berdasarkan firman Allah, QS. Al-baqarah:282, “Dan persaksikalah apabila kalian berjual beli”.
Demikian ini karena jual beli yang dilakukan dihadapan saksi dapat menghindarkan terjadinya peraelisihan dan menjauhkan diri dari sikap saling menyangkal. Oleh karena itu, lebih baik dilakukan khususnya bila barang dagangan tersebut mempunyai nilai yang sangat penting (mahal). Bila barang dagangan itu nilainya sedikit, maka tidak dianjurkan mempersaksikannya, menurut Imam Syafi’i, Hanafi, Ishak, dan Ayyub.
Sedangkan menurut Ibnu Qudamah, bahwa mendatangkan saksi xakan jual beli adalah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan diikuti oleh Atha dan Jabir. 

E.Khiar dalam Jual beli
Dalan jual beli, menurut agama Islam dibolehkan memilih, apakah akan meneruskan jual beli atau akan membatalkannya. Oleh karena itu, khiar dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a.Khiar majelis, artinya antara penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya, selama keduanya masih ada dalam satu tempat (majelis), khiar majelis boleh dilakukan dalam berbagai jual beli.
b.Khiar Syarat, yaitu penjualan yang di dalamnya disyaratkan seseuatu baik oleh penjual maupun oleh pembeli, seperti seseorang berkata, “saya jual rumah ini dengan harga Rp.100.000.000,00 dengan syarat khiar selama 3 hari”.
c.Khiar ‘aib, artinya dalam jual beli ini disyaratkan kesempurnaan benda-benda yang dibeli.

F.Bentuk-bentuk Jual Beli
Dari berbagai tinjauan, ba’i dapat dibagi mennjadi beberapa bentuk, yaitu:
1.Ditinjau dari sisi objek akad ba’i dibagi menjadi:
a.Tukar menukar uang dengan barang.
b.Tukar menukar barang dengan barang.
c.Tukar menukar uang dengan uang.
2.Ditinjau dari sisi waktu serah terima, ba'i dibagi menjadi:
a.Barang dan uang serah terima dengan tunai.
b.Uang dibayar dimuka dan barang menyusul pada waktu yang disepakati, dinamakan salam
c.Barang diterima di muka dan uang menyusul, ba'i ajal (jual beli tidak tunai)
d.Barang dan uang tidak tunai, atau ba’i dain bi daun (jual beli utang dengan utang)
3.Ditinjau dari cara menetapkan harga, ba'i terbagi menjadi:
a.Ba’i Musawamah (jual beli dengan tawar menawar), yaitu jual beli dimana pihak penjual tidak menyebutkan harga pokok barang, akan tetapi menetapkan harga tertentu dan membuka peluang untuk ditawar.
b.Ba’i amanah, yaitu jual beli dimana pihak penjual menyebutkan harga pokok barang, lalu menyebutkan harga jual barang.
•Ba’i Murabahah, yaitu pihak penjual menyebutkan harga pokok barang dan laba.
•Ba’i al-Wadh’iyyah, yaitu pihak penjual menyebutkan harga pokok barang atau menjual barang tersebut di bawah harga pokok.
•Ba’i Tauliyah, yaitu penjual menyebutkan harga pokok dan menjualnya dengan harga tersebut
.
G.Persyaratan dalam Jual beli
Berbeda antara syarat jual beli dan persyaratan jual beli. Syarat sah jual beli itu ditentukan oleh agama, sedangkan memberikan persyaratan dalam jual beli ditetapkan oleh salah satu pihak pelaku transaksi. Hukum asal memberikan persyaratan dalam jual beli adalah sah dan mengikat, maka dibolehkan bagi kedua belah pihak menambahkan persyaratan dari akad awal. Hal ini berdasarkan kepada firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu”. (QS. Al-Maidah: 5). Dan Hadis Rasulullah SAW: “Diriwayatkan dari Amru bin Auf bahwa Rasulullah Saw bersabda, “orang Islam itu terikat dengan persyaratan (yang mereka buat) selagi syarat itu tidak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram”.
Adapun persyaratan yang dibenarkan agama, misalnya:
1.Persyaratan yang sesuai dengan tuntuan akad.
2.Persyaratan tausiqiyah, yaitu penjual mensyaratkan pembeli mengajukan dhamin (penjamin)  atau barang agunan.
3.Persyaratan washfiyah, yaitu pembeli mengajukan persyaratan kriteria tertentu pada barang atau cara tertentu pada pembayaran.
4.Persyaratan manfaat pada barang.
5.Persyaratan taqyidiyyah, yaitu salah satu pihak mensyaratkan hal yang bertentangan dengan kewenangan kepemilikan.
6.Persyaratan fi akad, yaitu menggabungkan dua akad dalam satu akad.
7.Syaray jaza'i (persyaratan denda), yaitu persyaratan yang terdapat dalam suatu akad mengenai pengenaan denda apabila ketentuan akad tidak terpenuhin
8.Syarat takliqiyyah

H.Bentuk-bentuk Jual Beli yang Dilarang
1.Jual beli yang dilarang dan hukumnya tidak sah, yaitu jual beli yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya. Jual beli ini antara lain:
a.Jual beli barang yang zatnya haram, najis, atau tidak boleh diperjualbelikan.
b.Jual beli yang belum jelas.
•Jual beli buah-buahan yang belum tampak hasilnya.
•Jual beli barang yang belum tampak.
c.Jual beli bersyarat.
d.Jual beli yang menimbulkan kemudaratan.
e.Jual beli yang dilarang karena dianiaya
f.Jual beli muhaqalah, yaitu menjual tanam-tanaman yang masih di ladang atau di sawah .
g.Jual beli mukhadharah, yaitu menjual buah-buahan yanh masih hijau (belum pantas dipanen).
h.Jual beli mulamasah, yaitu jual beli secara sentuh menyentuh.
i.Jual beli munabadzah yaitu jual beli secara lempar melempar
j.Jual beli muzabanah yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang kering.
2.Jual beli terlarang karena ada faktor lain yang merugikan pihak-pihak terkait.
a.Jual beli dari orang yang masih dalam tawar menawar.
b.Jual beli dengan menghadang dagangan di luad kota/pasar.
c.Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual ketika harga naik karena kelangkaan barang tersebut.
d.Jual beli barang rampasan atau curian.

I.Berselisih dalam Jual Beli
Penjual dan pembeli dalam melakukan jual beli hendaknya berlaku jujur, terus terang dan mengatakan yang sebenarnya, maka jangan bersusta dan jangan bersumoah dusta, sebab sumpah dan dusta menghilangkan berkah jual beli. Rasulullah saw bersabda:
“Bersumpah dapat mempercepat lakunya dagangan, tetapi dapat menghilangkan berkah”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Bila antara penjual dan pembeli berselisih pendapat dalam suatu benda yang diperjualbelikan, maka yang dibenarkan ialah kata-kata yang punya barang, bila antara keduanya tidak ada saksi dan bukti lainnya. Rasulullah saw bersabda:
“Bila penjual dan pembeli berselisih dan antara keduanya tidak ada saksi, maka yang dibenarkan adalah perkataan yang punya barang atau dibatalkan”. (HR. Abu Dawud).

J.Manfaat dan Hikmah Jual Beli
1.Manfaat jual beli
Manfaat jual beli antara lain:
a.Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.
b.Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan atau suka sama suka.
c.Masing-masing pihak puas.
d.Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki yang haram (batil)
e.Penjual dan pembeli mendapat rahmat dari Allah swt.
f.Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.

2.Hikmah Jual beli
Allah swt mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keluangan dan keleluasaan kepada hamba-hambanya, karena semua manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan seperti ini tak pernah putus selama manusia masih hidup. Tak seorangpun dapat memenuhi hajat hidupnya sendiri, karena itu manusia dituntut berhubungan satu sama lainnya. Dalam hubungan ini tak ada satu hal pun yang lebih sempurna daripada saling tukar, dimana seseorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian dia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.

K.Badan perantara
Badan perantara dalam jual beli disebut simsar, yaitu seseorang yang menjualkan barang orang lain atas dasar bahwa seseorang itu akan diberi upah oleh yang punya barang seseuai usahanya. Orang yang menjadi simsar dinamakan pula komisioner, makelar, atau agen, tergantung persyaratan-persyaratan atau ketentuan-ketentuan Hukum Dagang yang berlaku dewasa ini. Berdagang secara simsar dibolehkan berdasarkan agama asal dalam pelaksanaannya tidak terjadi penipuan dari yang satu terhadap yang lainnya.
L.Penjual Tanah
Menurut Syafi’i, boleh menjual tanah yang sedang ditanami, seseorang menjual sebidang tanah di dalamnya ada benih dan tanamannya. Kalau menjual tanah itu tidak dipisahkan dari penjualan benih dan tanaman itu, penjualan itu batal sebab tidak jelas, apakah hanya tanah saja atau tanah dengan tanaman dan biji-bijiannya. Yang termasuk dalam penjualan sebidang tanah adalah:
1.Batu yang ada di dalamnya
2.Barang-barang yang terpendam di dalamnya, seperti simpanan barang-barang berharga.
Dalam penjualan sebidang kebun, yang termasuk di dalamnya ialah:
1.Pohon-pohonannya.
2.Bangunan-bangunan yang ada di dalamnya, kecuali barang-barang yang dikecualikan dalam akad dan disepakati dua belah pihak.
3.Pekarangan yang melingkari.
4.Tanahnya.

Bila menjual rumah, yang termasuk di dalamnya ialah:
•Tanah tempat mendirikan
•Apa yang ada dalam pekarangannya.
Bila seseorang menjual seekor hewan, yang termasuk didalamnya ialah:
1.Sendal/sepatunya
2.Pelananya.

M.Buah-buahan yang Rusak setelah Dijual
Buah-buahan yang sudah dijual kemudian rusak atau hilang dan yang lain-lainnya, maka kerusakan itu tanggungan penjual, bukan tanggungan pembeli. Rasulullah saw bersabda:
“Jika engkau telah menjual buah-buahan kepada saudaramu, lalu buahan itu rusak (busuk), maka haram bagimu mengambil sesuatu darinya, apakah kamu mau mengambil harta saudaramu dengan tidak hak”. (HR. Muslim)

N.Gadai
1.Pengertian Gadai
Menurut bahasa, gadai (al-rahn) berarti Atsubuutu wa Dawamu artinya tetap dan kekal, atau al-Habsu wa Luzumu artinya pengekangan dan keharusan dan juga bisa berarti jaminan. 
Menurut istilah syara', yang dimaksud rahn ialah:
•Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya. 
•Gadai adalah akad perjanjian pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang. 
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa al-rahn adalah menjadikan barang berharga sebagai jaminan utang.

2.Dasar Hukum Gadai
Allah swt berfirman dalam Q.s. Al-baqarah: 283
Apabila kamu dalam perjalanan dan tidak ada orang yang menuliskan utang, maka hendaklah dengan rungguhan yang diterima ketika itu.

Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a ia berkata:
“Rasulullah zaw meungguhkan baju besi kepada seoang Yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang Yahudi”.

Dari hadis diatas dapat dipahami bahwa agama Islam tidak membeda-bedakan antara orang Muslim dan nonMuslim dalam bidang muamalah, maka seorang muslim tetap wajib membayar utangnya sekalipun kepada orang non Muslim.

3.Rukun dan Syarat Gadai
a.Rukun Gadai antara lain:
•Orang yang berakad
•Akad iajb kabul
•Barang yang dijadikan jaminan
•Ada utang.
b.Syarat gadai, antara lain:
•Syarat yang terkait dengan orang berakad adalah cakap bertindak hukum.
•Syarat terkait dengan utang: merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada yang memberi utang, utang itu boleh dilunasi dengan jaminan, utang itu jelas dan tertentu.
Jadi para ulama sepakat bahwa gadai itu dianggap sempurna apabila barang yang digadaikan itu secara hukim telah berada ditangan pemberi utang, dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam uang.

4.Pemanfaatan Barang Gadai
Dalam pengambilan pemanfaatan barang-barang yang digadaikan, para ulama berbeda pendapat, diantaranya:
a.Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil sesuatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
b.Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaiian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya selam kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya.

5.Resiko Kerusakan barang Gadaian
Bila marhun hilang dibawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian murtahin atau karena disia-siakan, umpamanya murtahin bermain-main dengan api, lalu terbakar barang gadaian itu, atau gudang tak dikunci, lalu barang-barang itu hilang dicuri orang. Murtahin diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya, bila tidak demikian, ketika ada cacat atau kerusakan apalagi hilang, menjadi tanggung jawab murtahin.

6.Riba dan Gadai
Perjanjian pada gadai pada dasarnya adalah akad atau transaksi utang piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya. Hal yang memungkinkan pada gadai mengandung unsur riba, yaitu:
a.Apabila dalam akad gadai tersebut ditentukan bahwa rahin atau penggadai harus memberikan tambahan kepada murtahin ketika membayar utangnya.
b.Apabila akad gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan.
c.Apabila rahin tidak mampu membayar utangnya hngga pada waktu yang telah ditentukan, kemudian murtahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan harga marhun kepada rahin. Padahal utang rahin labih kecil nilainya dari marhun.

O. Hukum Menjual Rokok
            Sebagaimana diketahui bahwa syarat sahnya satu akad jual beli jika barang yang dijual bermanfaat yang menjadi tujuan secara syar’i.
Disebutkan dalam Hasyiyah Ar-Rasyidi : “yang benar dalam masalah ini bahwa rokok membawa manfaat dari segi fungsi utamanya yaitu untuk diisap dan ini termasuk yang mubah karena tidak ada dalil yang mengatakan haram, maka mengambilnya sama dengan pemanfaatan terhadap sesuatu yang mubah.
            Pendapat yang benar dalah seperti yang disebutkan oleh Syaikh Al-Bajuri dalam Hasyiyah-nya, Bahwa Allah Berfirman :

وَ لَاتُسْرِ فُواْ إِ نٌهُ لَا تُحِبٌ اَلْمُسْرِ فِينَ
Dan janganlah berlebih-lebihan.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS.Al-A’raf (7):31
Hukum Menjual Alat Musik
            Ulama berbeda pendapat tentang hukum menjual alat musik, apakah boleh atau tidak terdiri dari dua pendapat:
1.      Boleh menjualnya dan ini pendapat yang sesat.
2.      Walaupun dikatakan boleh tetapi manfaatnya dalah haram hanya penulis perlu dilihat sesuatu yang lain yang menjadi sandaran halal atau tidaknya barang ini yaitu bentuk alat itu sendiri, jika tidak bisa dikatakan sebagai harta setelah dihancurkan, maka tidak boleh menjualnya karena tidak ada manfaat secara syar’i.
Adapun jika setelah dihancurkan masih bernilai harta, untuk menjualnya dan menjual patung, dan gambar-gambar yang terbuat dari emas dan perak dan yang lainya terdiri dari tiga pendapat.:
1.      Akad batal. Ini adalah pendapat yang paling kuat dan merupakan pendapat kebanyakan ulama.
2.      Akad tetap sah.
3.      Pendapat Al-Qadhi Husaun dalam kitab Ta’liq-nya dan Al-Mutawalli, Imam Al-Haramain dan Al-Ghazali.

PENUTUP

KESIMPULAN
•intinya jual beli itu adalah tukar menukar barang. Hal ini telah dipraktikkan oleh masyarakat primitif ketika uang belum digunakan sebagai alat tukar menukar barang, yaitu dengan sistem barter yang dalam terminologi fiqh disebut dengan ba’i al-muqayyadah.
•Rukun dan Syarat Jual Beli
1.Akad (ijab kabul)
2.Orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli)
3. Ma’kud alaih (objek akad)
•Gadai adalah akad perjanjian pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.
•Rukun Gadai
1.Orang yang berakad
2.Akad iajb kabul
3.Barang yang dijadikan jaminan
4.Ada utang
•Riba dan Gadai
Perjanjian pada gadai pada dasarnya adalah akad atau transaksi utang piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya. Hal yang memungkinkan pada gadai mengandung unsur riba, yaitu:
1.Apabila dalam akad gadai tersebut ditentukan bahwa rahin atau penggadai harus memberikan tambahan kepada murtahin ketika membayar utangnya.
2.Apabila akad gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan.
3.Apabila rahin tidak mampu membayar utangnya hngga pada waktu yang telah ditentukan, kemudian murtahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan harga marhun kepada rahin. Padahal utang rahin labih kecil nilainya dari marhun.

DAFTAR PUSTAKA
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana, 2012.
Ghazaly rahman abdul , dkk, Fiqh Muamalah, Jakarta: Prenadamedia Group, 2010.
Suhendi Hendii, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Qudamah Ibnu,, Al-Mughni, Beiirut: Dar el Fikr
Al-Juhaili wahbah, al-Fiqh al-Islami Wa adilatuhu, Damaskus: Dar al-Fiqr al-Mua’sshim, 2005.
Ash-Shiddieqy hasbi, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Zuhdi masyfuk, Masail F’qihiyah, Jakarta: Haji Masagung, 1988.
http://listi123.blogspot.co.id/2016/06/makalah-fiqih-muamalah-jual-beli.html?m=1
http://listi123.blogspot.co.id/2016/06/makalah-fiqih-muamalah-jual-beli.html?m=1

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 Tulisanku.