MAKALAH FIQIH
TENTANG AKAD,
SYARAT, MACAM DAN CARA PEMBATALANNYA.
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
NAMA : RAHMA FITRI ASIH PURBA
NIM : 1530100004
SEM/JUR : KPI/ V(LIMA)
Dosen pengampuh:
Zilfaroni, S.Sos.I.,M.A

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
T.A. 2017/2018
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
Warahmatullah Wabarakatu...
Puji
syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan
judul “Akad, syaratnya, macamnya dan cara pembatalannya”,serta tak lupa
pula saya haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi kita Muhammad SAW
yang telah membawa kita dari zaman jahilia, dari zaman kebodohan menuju zaman
yang sekarang ini yakni zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Makalah ini di
persiapkan dan di susun untuk memenuhi tugas kuliah serta menambah wawasan dan
ilmu pengetahuan, di dalam makalah ini saya menyadari bahwa penulisanya masih
sangat sederhana dan jauh dari kesempurnaan. Namun, besar harapan saya semoga
makalah yang disusun ini bisa bermanfaat. Saya selaku penulis makalah ini dapat
terselesaikan atas usaha keras saya dan bantuan rekan-rekan dalam diskusi untuk
mengisi kekuranganya.
Dalam pembuatan
makalah ini saya sangat menyadari bahwa baik dalam penyampaian maupun penulisan
masih banyak kekurangannya untuk itu saran dan kritik dari berbagai pihak
sangat saya harapkan untuk penunjang dalam pembuatan makalah saya berikutnya.
Wassalamualaikum
Warahmatullah Wabarakatuh...
Padangsidimpuan, 31 Agustus 2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. .............
i
DAFTAR ISI............................................................................................................ .............
ii
BAB I
PENDAHULUAN.....................................................................................................
1
A. Latar
Belakang........................................................................................................
1
B. Rumusan
Masalah...................................................................................................
2
C.
Tujuan......................................................................................................................
2
BAB II
PEMBAHASAN.......................................................................................................
4
A. Pengertian
Akad.......................................................................................................
4
B. Rukun-rukun
Akad..................................................................................................
7
C. Syarat-syarat
Akad..................................................................................................
7
D. Macam-macam
Akad...............................................................................................
8
E. Aqid
Akad.................................................................................................................9
F. Ilzam dan
Iltizam....................................................................................................11
BAB III PENUTUP................................................................................................. ...........
13
A. Kesimpulan................................................................................................. ...........
13
B. Saran .......................................................................................................... ...........
13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. ...........
15
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam menjalankan bisnis, satu hal
yang sangat penting adalah masalah akad (perjanjian). Akd sebagai salah satu
cara untuk memperoleh harta dalam syariat Islam yan banyak digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Akad merupakan cara yang diridhai Allah dan haris
ditegakkan isinya. Akad dalam Islam selalu bergabung kedalam aturan yang sudah
ada sebelumnya, yaitu aturan untuk akad yang kuat yang telah diatur oleh
syariat untuk dijalankan oleh manusia.
Kewajiban setiap individu terikat secara utuh dengan hukum-hukum syariat
yang telah mengatut akad-akad tersebut. Kesimpulannya, akad dalam perspektif
undang-undang adalah sarana untuk meraih meslahat pribadi untuk setiap pihak
yang melakukan akad. Sementara, akad dalam perspektif Islam adalah meraih
tujuan-tujuan syariat yang bersifa global.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Jelaskan
difinisi dari akad!
2.
Apa
saja syarat-syarat pada pelaksanaan akad?
3.
Bagaimana
pembentukan akad?
4.
Apa
saja unsur-unsur dari akad?
C.
Tujuan
rumusan masalah
Untuk megetahui apa itu akad,
syarat-syarat akad, pembentukan akad, dan unsur-unsur akad.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Akad
1.
Defenisi
Akad
Akad dalam bahasa Arab berarti ikatan
(atau pengencangan dan penguatan) antara
beberapa pihak dalam hal tertentu, baik ikatan itu bersifat konkret maupun
abstrak, baik dari satu sisi maupun dari dua sisi. Dalam kitab al-Misbah al-Munir dan kitab-kitab bahasa lainnya disebutkan: ‘aqada al-habl (mengikat tali) atau ‘aqada al-bay' (mengikat jual beli) atau
‘aqada al-'ahd (mengikat perjanjian) fan'aqada (lalu ia terikat). Dalam
sebuah kalimat misalnya: ‘aqada an-niyyah
wa al-‘azm ‘alaa syay' (berniat dan bertwkad melakukan sesuatu) wa ‘aqada al-yamin (mengikat sumpah),
maksudnya adalah mengikat antara kehendak dengan perealisasian apa yang telah
dikomitmenkan. Dalam contoh yang lain:
‘aqada al-bay' wa az-zawaj wa al-ijarah (mengadakan akad jual beli, nikah,
dan sewa menyewa), maksudnya seseorang terikat dengan pihak lain dalam hal
tersebut.[1]
Menurut fuqaha,akad memiliki dua penngertian, umum dan khusus.
Pengertian umum lebih dekat dengan pengertian secara bahasa dan pengrtian ini
yang tersebar dikalangan fukaha Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hambali, yaitu
setiap sesuatu yang ditekadkan oleh seseorang untuk melakukannya baik muncul
dengan kehendak sendiri maupun wakaf, ibra'
(pengguguran hak), talak dan sumpah, ataupun membutuhkan dua kehendak dalam
menciptakannya seperti jual beli, sewa-menyew, tawkil (perwakilan), dan rahn
(jaminan). Artinya, pengertian ini mencakup iltizam
secara mutlak, baik dari satu orang maupun dua orang. Sedangkan pengertian
khusus yang dimaksud disini ketika membicarakan tentang teori akad adalah
hubungan antara ijab (pewajiban) dan qabul (penerimaan) secara syariat yang
menimbulkan efek terhadap objeknya. [2] Atau dengan kata lain,
berhubungnya ucapan salah satu dari dua orang yang berakad dengan yang lain
(pihak kedua) secara syara’ dimana hal itu menimbulkan efeknya terhadap objek. Dasar
hukum dilakukannya akad dalam al-Qur’an adalah :
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu " (QS. Al Maidah : 1).[3]
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu " (QS. Al Maidah : 1).[3]
2.
Pembentukan
Akad
a.
Rukun
Akad
Rukun
akad dalam terminologi ulama Ushul dari kalangan Hanafiyah adalah sesuatu yang
adanya sesuatu yang lain bergantung keoadanya dan ia merupakan bagian dari
hakikat sesuatu tersebut. Jadi, rukun akad adalah sesgala sesuatu yang
mengungkapkan kesepakatan dua kehendak atau yang menggantikan posisinya baik
beruoa perbuatan, isyarat maupun tulisan.
Kalangan
selain Hanafiyah berpendapat bahwa akad memiliki tiga rukun yaitu ‘aqid (pengakad), ma’qud ‘alaih (objek yang diakadkan) dan shighat.
b.
Unsur-unsur Akad
1.
Shighat Akad
Yaitu sesuatu yang muncul dari kedua orang yang berakad dan
menunjukkan adanya keinginan batin dari keduanya untuk membuat akad dan
menyempurnakannya.
·
Bentuk-bentuk
shighat Ijab dan Qabul
1)
Lafaz
atau perkataan
Lafaz adalah cara alami dan mendasar untuk mengungkapkan keinginan
yang tersembunyi. Tidak ada ungkapan khusus yang di syaratkan. Ia bisa
dilakukan dengan semua lafaz yang menunjukkan adanya saling ridha dan sesuai
dengan kebiasaan atau adat setempat, karena intinya adalah keridhaan. Materi
lafazBerdasarkan hal di atas maka tidak ada disyaratkan dalam akad seperti akad
jual beli, penyewaan, jaminan, hibah, dan sebagainya lafaz tertentu atau
ungkapan yang khusus. Adapun untuk akad nikah, para fuqaha berbeda pendapat
tentang lafaz yang digunakan melihat kepada suci dan sakraknya akad ini.
2)
Melakukan
akad dengan perbuatan
Terkadang akad dilakukan tanpa menggunakan perkataan lafaz
melainkan dengan perbuatan yang muncul dari kedua pengakad. Seperti seseorang
melihat sebuah barang sudah ada label harganya,
seperti jam atau perhiasan, lalu ia berikan harga (uangnya) kepada si
pembeli lalu ia ambil barang tersebut tanpa ada ijab dan qabul secara lafaz,
maka jual beli itu sah karena ia telah mengindikasikan saling ridha dalam
kebiasaan yang berlaku.
3)
Mengadakan
akad dengan isyarat
Apabila
pengakad mampu berbicara maka akad tidak bisa diisyaratkan, ia mesti
mengungkapkan kehendaknya dengan lidahnya dalam bentuk lafaz atau tulisan,
karena isyarat itu meskipun menunjukkan adanua kehendak namun ia tidak bisa
memunculkan keyakinan sebagimana yang dimunculkan oleh lafaz atau tulisan,
kalau tidak maka akad tidak sah menurut Hanfiyah dan Syafi’iyyah.Adapun
pengakad yang tidak mampu berbicara seberti orang bisu atau patah lidah
(cadel), jika ia bisa menulis maka ia mesti menulis menurut pendapat kalangan
Hanafiyyah, karena tulisan lebih kuat dan lebih jauh dari berbagai kemungkinan
daripada isyarat, maka oleh karena itu
ia mesti didahulukan.
4)
Akad
dengan tulisan
Akad sah dilakukan dengan tulisan antara dua pihak yang sama-sama
bisa bicara atau sama-sama tidak bosa bicara, berada dalam satu majelis atau
sama-sama tidak hadir dan dengan bahasa apa saja yang dipahami oleh kedua
pengakad, dengan syarat tulisan tersebut jelas (artinya jelas bentukanya
setelah dituliskan) dan formal (ditulis dengan cara yang biasa dikebal luas di
sebuah masyarakat dengan menyebutkan orang yang diutus dan tanda tangan orang
yang mengutus). Jika tulisan itu tidak jelas seperti nomor saja atau menulis di
air atau udara, atau tidak formal maka akad tersebut tidak sah.
·
Syarat-syarat
ijab dan qabul
1.
Jelasnya
dilalah (apa yanh ditunjukkan) ijab
dan qabul.
2.
Sesuainya
qabul dengan ijab dengan menjawab setiap yang diwajibkan oleh al-mujib.
3.
Bersambungnya
qabul dengan ijab.
·
Hal-hal
yang membatalkan Ijab
1.
Mundurnya
mujib dari ijab sebelum adanya qabul
2.
Penolakan
terhadap ijab dari pihak lain baik secara tegas maupun secara tersirat.
3.
Berakhirnya
majelis akad dengan berpisahnya kedua pengakad.
4.
Kaluarnya
mujib dari ahliyyah- nya (kewenangan melakukan akad) seblum adanya qabul baik
karena kematian, gila, pingsan dan sebagainya.
5.
Penjual
menarik kembali ucapannya sebelum terdapat kabul dari si pembeli.
6.
Adanya
penolakan ijab dari si pembeli.
7.
Berakhirnya
majlis akad. Jika kedua pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah pisah
dari majlis akad. Ijab dan kabul dianggap batal
8.
Kedua
pihak atau salah satu, hilang kesepakatannya sebelum terjadi kesepakatan.
9.
Rusaknya
objek transaksi sebelum terjadinya kabul atau kesepakatan
10. Rusaknya objek akad sebelum qabul dinyatakan, atau objek itu berubah dan menjadi wujud yang
lain seperti mencongkel mata hewan atau berubahnya jus anggur menjadi khamar
dan sebagainya.
c.
Rukun
‘aqad
Rukun-rukun akad ialah sebagai berikut:[4]
1.
‘Aqid ialah orang
yang berakad, terkadang masing-masing pihak terdiri dari satu orang, terkadang
terdiri dari beberapa orang.
2.
Ma’qud ‘alaih ialah
benda-benda yang akan diakadkan.
3.
Maudhu' al ‘aqd ialah
tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad, maka berbedalah tujuan
pokok akad.
4.
Shighat al ‘aqd ialah
ijab qabul.
d.
Syarat-syarat
Aqad
Setiap pembentukan akad mempunyai syarat yang ditentukan syara’yang
wajib disempurnakan, syarat-syarat terjadinya akad ada dua macam.
1.
Syarat
yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib semourna wujudnya dalam
bernagai akad.
2.
Syarat-syarat
yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam
sebagian akad.
Syarat-syarat umum yang harus
dipenuhi dalam berbagai macam akad yaitu:
1.
Kedua
orang yang melakukan akad cakap bertindak. Tidak sah akad orang yang tidak
cakap bertindak, seperti orang gila.
2.
Yang
dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
3.
Akad
itu dizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya
walaupun dia bukan aqid yang memiliki
barang.
4.
Janganlah
akad itu akad yang dilarang oleh syara, seperti jual beli mulasamah.
5.
Akad
dapat memberikan faedah sehingga tidaklah sah bila rahn dianggap sebagai imbangan amanah.
6.
Ijab
itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi qabul.
7.
Ijab
dan qabul mesti bersambung sehingga bila seseorang yang berijab sudah berpisah
sebelum adanya qabul, maka ijab tersebut menjadi batal.
e.
Macam-macam ‘Aqad
·
‘Aqad Munjiz yaitu akad
yang dilaksanakan langsung pada selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti
dengan pelaksanaan akad ialah pernyataan yang tidak disertai dengan
syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan setelah adanya akad.
·
‘Aqad mu’allaq ialah akad yang
di dalam pelaksanaanya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad,
misalnya penetuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya
pembayaran.
·
‘Aqad mudhaf ialah akad
yang dalam pelaksanaanya terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan
pelaksanaan akad, pernyataan yang
pelaksanaanya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah
dilakukan pada waktu akad, tetapi belum
mempunyai akibat hukum sebelum tibanya waktu yang telah ditentukan.
f.
Berakhirnya
Akad
Para ulama fiqh menyatakan bahwa suatu akad dapat berakhir apabila:[5]
1.
Berakhirmya
masa berlaku akad itu, apabila akad itu
mempunyai tenggamg waktu.
2.
Dibatalkan
oleh pihak-pihak yang berakad, apabila
akad itu sifatnya tidak mengikat.
3.
Dalam
akad yang bersifat mengikat, suatu qkad dianggap berakhir jika:
a)
Jual
beli itu fasad, seperti terdapat unsur-unsur tipuan salah satu rurkun atau
syaratnya tidak terpenuhi.
b)
Berkakunya
khiyar syarat, aib, atau rukyat.
c)
Akad
itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak.
d)
Tercapainya
tujuan akad itu sampai sempuran.
4.
Salah
satu oihak yang berakad meninggal dunia.
g.
Hikmah
Akad
·
Adanya
ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih dalam bertransaksi atau memiliki
seseuatu.
·
Tidak
dapat sembarangan dalam membatalkan suatu ikatan perjanjian, karena telah
diatur secara syar'i
·
Akad
mrupakan payung hukum di dalam kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain tidak
dapat menggugat atau memilikinya.
h.
Pembentukan
Akad
Akad adalah satu sebab dari yang di tetaany', yang karenanya beberapa hukum. Akad itu mengikat pihak-pihak
dengan beberapa hukum syara’, yaitu hak
dan iltizam, yang diwujudkan oleh aqad.
Dan akad itu
terbentuk dengan adanya dua aqid, yang dinamakan tharafayil aqdi (dua pihk akad) adanya mahalul aqdi yang dinamakan ma'qud
‘alaihi dan adanya rukun-rukun akad pada lima perkara yang dipenuhi. [6]
i.
Hal-hal
yang Membatalkan Akad Transaksi[7]
Ulama’ fiqh menyatakan bahwa suatu akad itu dapat menjadi
batal atau bisa
dikatakan berakhir manakala terjadi hal-hal sebagi berikut ;
- Berakhir masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang waktu.
- Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu mengikat
- Wafat salah satu pihak yang berakad Berbagai Macam Transaksi dalam akad itu bisa diteruskan oleh ahli warisnya bila pewaris itu meninggal.
- Dalam suatu akad yang bersifat mengikat, akad dapat berakhir bila:
1)
Akad
itu fasid
2)
Berlaku
khiyar syarat dan khiyar aib
3)
Akad
itu tidak dilaksanakan oleh satu pihak yang berakad.
4)
Telah
tercapai tujuan akad itu secara sempurna.
B.
‘Aqid (pengakad)
Ijab
dan qabul yang menjadi rukun sebuah akad sebagaimana dijelaskan diatas tidak
akan ada tanpa adanya pengakad. Jadi pengakad adalah unsur mendasar dalam
sebuah proses akad. Namun, tidak semua orang bisa untuk melakukan proses akad.
Ada sebagian manusia tidak layak untuk melakukan akad, sebaguan lagi layak dan
sah melakukan beberapa jenis akad dan ada yang layang dan sah untuk semua jenis
akad.
Ini
artinya, seorang pengakad mesti memiliki ahliyyah
(kelayakan atau kewenangan) untuk melakukan akad baik secara ashalah ‘an nafsih (benar-benar dari
dirinya secara murni) maupun wilayah
syar’iyyah (perwalian secara syariat) untuk melakukan proses akad
menggantikan posisi orang lain.
1.
Ahliyyah
Secara bahasa, ahliyyah
berarti ash-shalahiyyah (kelayakan).
Dalam teminologi fuqaha, ahliyyah
adalah kelayakan seseorang untuk memiliki hak-hak yang telah disyariatkan
baginya yang sekaligus juga diwajibkan terhadaonya dan sahnya segala tasharruf yang dilakukannya.
a.
Aliyyah
wujub, yaitu kelayakan seseorang untuk ilzam
(membebankan konsistensi kepada orang lain) dan iltizam (konsistensi dengan apa yang disepakati), atau kelayakan
seseorang untuk mendapatkan haknya seperti hak mendapatkan nilai kerusakan dari
hartanya yang dirusak orang lain atau kewajibannya memberikan hak orang lain
seperti iltizam dengan harga barang
dan kompensasi pinjaman.
b.
‘Awaridh
ahliyyah
‘Awaridh adalah sesuatu yang terjadi pada manusia dan dapan
menghilangkan ahliyyahnya sama sekali, menguranginya atau mengubah beberapa
hukumnya. ‘Awaridh itu ada dua macam menurut ulama fiqh:
·
‘Awaridh
samawiyyah, yaitu ‘awaridh yang tidak ada peran atau usaha seseorang dalam
menciptakannya.
·
‘awaridh
muktasabah, yaitu ‘awaridh yang di dalamnya terdapat peran dan usaha seseorang
terhadap muncilnua ‘awaridh tersebut.
2.
Wilayah
(perwalian)
Wilayah secara bahasa adalah memegang sebuah urusan dan
melaksanakannya atau mengawasinya. Dalam terminologi syariat, wilayah adalah
kewenangan yang bersifat syar’i yang memungkinkan seseorang untuk membuat akad,
berbagai tasharruf serta
mengaplikasikannya, artinya memberikan efek atau pengaruh syar’i terhadap akad
dan tasharruf itu.
C.
Ilzam
dan Iltizam
Ilzam adalah pengaruh yang umum bagi setiap akad. Ada juga yang
menyatakaan bahwa ilzam ialah ketidakmugkinan bagi yang nelakukan akad untuk
mencabut akadnya secara sepihak tanpa persetujuan pihak yang lain.
Iltizam ialah keharusan mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan
sesuatu untuk kepentingan orang lain.
D.
Hukum
akad dan contoh kasus
Dalam menghukumi suatu akad, maka sesuatu yang harus diperiksa terlebih
dahulu adalah rukun akadnya karena apabila salah satu rukunya tidak terpenuhi
maka akad yang dilakukan dapat dikategorikan tidak sah. Selain melihat dari
sisi akad syarat-syarat dalam akad juga harus dilihat dan diperhatikan karena
apabila syarat akad tidak terpenuhi maka tidak menutup kamungkinan akad yan
dilakukan tidak sah.
Untuk memperjelas maksut penulis, penulis mencoba mengilustrasikan dalam
contoh kasus berikut:
Disuatu daerah ada sebuah industry yang mana industry tersebut mengolah
dan memanfaatkan kotoran hewan ternak, seperti sapi, kambing ataupun kerbau.
Mereka memanfaatkan kotoran hewan tersebut untuk dijadikan dan dimanfaatkan
sebagai pupuk, yang mana pupuk kompos (pupuk dari kotoran hewan) sangat berguna
dalam membantu kesuburan tanaman.
Setelah mereka mengumpulkan kotoran hewan ternak tadi, mereka mengolah
kotoran tersebut dan dijadikan menjadi pupuk. Setelah pupuk jadi mereka
menjualnya kepada para petani untuk dimanfaatkan sebagai pupuk untuk tanaman
mereka. Melihat dari contoh kasus tersebut. Islam memandang kasus tersebut
melalui kaca mata fiqh muamalah, yang mana salah satu babnya menerangkan
mengenai permasalahan itu. Suatu akad
dapat dikatakan sah apabila dalam pelakasanaan akad tersebut sudah sesuai
dengan syariat islam. Yakni memenuhi rukun dan syarat sahnya akad. Yang mana
syarat sahnya akad seperti dijelaskan diatas. Dimana kalau ditinjau dari yang
melakukan transaksi sudah dapat dikatakan sah, karena keduanya sudah rela dalam
menjual dan membeli barang tersebut. Sementara itu jika ditinjau dari shigoh
yang dilakukan tidak ada kecacatan sama sekali, sehingga dapat juga dikatakan
sah.
PENUTUP
KESIMPULAN
l Akad adalah hubungan antara ijab (pewajiban) dan qabul (penerimaan)
secara syariat yang menimbulkan efek terhadap objeknya.
l Pengakad adalah unsur mendasar dalam sebuah proses akad.
l Ilzam adalah pengaruh yang umum bagi setiap akad. Ada juga yang
menyatakaan bahwa ilzam ialah ketidakmugkinan bagi yang nelakukan akad untuk
mencabut akadnya secara sepihak tanpa persetujuan pihak yang lain. Iltizam
ialah keharusan mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu untuk
kepentingan orang lain.
SARAN
Demikian
isi makalah saya, mengenai pengertian
‘Aqad, rukun-rukun ‘Aqad, Syarat-syarat Aqad, macam-macam ‘Aqad, Ilzam dan
Iltizam dari materi ‘Uqud. Apabila masih ada kekurangan diharakan Bapak dosen
dapat memberikan saran pada saya. Terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Az-zuhailiWahbah , Fiqh Islam
wa Adillatuhu, Jakarta: Gema Insani, 2011.
AbidinIbnu ,al-Ahkaam
al-‘Adliyyah dan Raddul Muhtaar
karya 2/355 cet. Al-Amiriyyah.
Suhendi hendi , FIQH MUAMALAH,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014.
RahmanAbdul Ghazaly dkk, FIQH MUAMALAT, Jakarta: Kencana, 2015.
Assh ShiddieqyHasby , Pengantar
Fiqh Mu'amalat, Jakarta: PT Bulan Bintang.
[1]
Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam wa
Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm 420
[2]
Materi 103 dan 104 dari Majalah al-Ahkaam
al-‘Adliyyah dan Raddul Muhtaar
karya Ibnu Abidin 2/355 cet. Al-Amiriyyah.
[4]
Hendi Suhendi, FIQH MUAMALAH, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 46
[5]
Abdul rahman Ghazaly dkk, FIQH MUAMALAT, (Jakarta:
Kencana, 2015), hlm. 58
[6]
Hasby Assh Shiddieqy, Pengantar Fiqh
Mu'amalat, (Jakarta: PT Bulan Bintang), hlm.22
[7]
http://www.academia.edu/7067375/Akad_dalam_Muamalah
0 komentar:
Posting Komentar